
Garut,Medialibas.com – Malam di Perumahan Jati Putra Asri, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Jawa Barat selalu sunyi, tetapi di Blok A2 Nomor 18, sunyi itu sering dibarengi suara kayu berderit, atap genteng yang beradu, dan hati yang berdebar kencang. Di situlah Juju Juariah (50) hidup bersama anak perempuannya yang masih duduk di bangku SMA kelas 1.
Bagi Juju, setiap hujan deras adalah ujian mental sekaligus taruhan nyawa. Air menetes dari atap yang dipenuhi lubang, menyusup ke lantai tanah dan membuatnya becek. Angin malam menusuk lewat celah dinding yang sudah retak-retak.
“Kalau hujan disertai angin kencang, saya cuma bisa duduk di pojok, baca doa. Kalau ambruk, ya sudah, saya pasrah. Semua saya serahkan kepada Allah,” katanya dengan suara yang nyaris tenggelam oleh tangis.
Rumah Warisan yang Kini Jadi Ancaman
Bangunan itu berdiri di atas tanah warisan orang tua Juju. Namun, warisan itu kini lebih menyerupai jebakan maut. Tiang penyangga keropos, atap seng berkarat, sebagian lantai masih tanah, dan struktur rumah sudah miring. Siapa pun yang melihatnya sepintas akan langsung menyadari bahayanya.
“Kadang kalau tidak ada yang panggil kerja, saya tidak makan. Untuk perbaiki rumah? Uangnya dari mana? Untuk makan saja saya susah,” ucapnya lirih.
Sumber nafkah Juju hanya datang dari kiriman anak sulungnya yang bekerja sebagai buruh pabrik di Tangerang. Nominalnya kecil, hanya cukup untuk membeli beras dan lauk sederhana, tidak pernah lebih. Sementara, biaya sekolah anak bungsunya tetap harus dibayar.
Tetangga Peduli tapi Tak Berdaya
Kondisi ini bukan rahasia di lingkungan perumahan. Tetangga melihat, mendengar, dan prihatin. Namun, mereka juga terhimpit masalah ekonomi sendiri. “Rumah Bu Juju ini sudah sangat mengkhawatirkan. Tapi bantuan dari pemerintah belum ada. Kalau dibiarkan, bisa bahaya,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Pernyataan itu bukan sekadar komentar itu alarm yang sudah berbunyi bertahun-tahun. Namun, suara itu seakan tak pernah sampai ke telinga pejabat yang memiliki kewenangan.
Program Rutilahu: Antara Data dan Realita
Kabupaten Garut setiap tahun
mengalokasikan anggaran untuk program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu), baik dari APBD, bantuan provinsi, maupun pemerintah pusat. Di atas kertas, program ini bertujuan agar semua warga miskin memiliki tempat tinggal yang aman dan sehat.
Namun, kasus Juju menunjukkan jurang menganga antara data dan kenyataan.Nama Juju walaupun tercatat sebagai penerima bantuan, namun semua itu tidak mencukupi hidupnya. Sejumlah aktivis sosial di Garut menilai persoalan ini bukan hanya soal menuntut kepedulian dari Pemerintah.
“Banyak warga miskin yang tidak terdata, sementara yang mampu malah dapat jatah. Ini bukan sekadar salah teknis, tapi soal keberpihakan,” kata seorang relawan sosial dengan nada kesal.
Musim Hujan,Musim Panik
Bagi sebagian orang, musim hujan adalah berkah. Bagi Juju, itu adalah ancaman. Ia tidur dalam posisi siaga siap berlari jika tiba-tiba tiang rumah runtuh. “Kadang suara kayu berderit saja bikin saya panik. Saya tidur tidak pernah nyenyak,” ujarnya.
Jika rumah ini ambruk, Juju bukan hanya kehilangan tempat tinggal. Ia bisa kehilangan nyawa, dan putrinya akan menjadi saksi dari tragedi yang bisa dihindari jika ada tindakan cepat.
Pertanyaan untuk Pemerintah: Tunggu Roboh Baru Bergerak?
Kisah Juju adalah potret telanjang dari masalah yang sering dianggap sepele: kemiskinan yang tersembunyi di balik tembok perumahan. Fakta bahwa ia tinggal di kompleks perumahan membuatnya mungkin terlewat dalam pendataan, seolah perumahan identik dengan kesejahteraan.
Padahal, kemiskinan tidak selalu tinggal di gubuk pinggir sawah. Ia bisa ada di tengah deretan rumah tembok, tersembunyi, sunyi, dan nyaris tak terlihat hingga bencana menyingkapnya.
Harapan Terakhir: Uluran Tangan Dermawan
“Saya tidak minta mewah, yang penting aman. Kalau hujan, saya bisa tidur tenang. Kalau ada yang mau bantu, semoga Allah membalas kebaikannya,” kata Juju.
Kisah ini adalah pengingat pahit bahwa kemiskinan di Garut bukan hanya soal penghasilan rendah, tetapi juga soal hak dasar yang diabaikan. Rumah layak bukan kemewahan, melainkan kebutuhan. Dan setiap hari yang dibiarkan berlalu tanpa tindakan, adalah perjudian dengan nyawa manusia. (Red)