
Garut,Medialibas.com – Suasana pagi yang cerah di kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Garut, pagi itu. Di salah satu ruang kerja, Indra Purnama, S.IP., M.Si., sedang menatap layar laptopnya.
Di layar, peta tata ruang Garut terbuka lebar, lengkap dengan titik koordinat berbagai proyek yang sedang diawasi. Tumpukan berkas di mejanya menunjukkan betapa padatnya tugas yang ia emban sebagai Kepala Bidang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Indra bukan sekadar pejabat administratif. Ia adalah “penjaga gerbang” yang memastikan setiap kegiatan usaha atau pembangunan di Garut tidak merusak lingkungan. Tugas ini menuntutnya berhadapan dengan regulasi rumit, kepentingan investor, hingga protes masyarakat.
“Kalau orang bilang saya penghambat pembangunan, saya tidak tersinggung. Justru itu artinya saya menjaga rambu-rambu. Kalau dibiarkan bebas, alam kita yang akan bayar mahal,” ujarnya saat diwawancarai Medialibas.com di ruang kerjanya. (11/09/2025).
Kasus Sungai yang Menghitam
Beberapa waktu lalu, Indra menerima laporan warga tentang air sungai di salah satu kecamatan yang berubah warna menjadi hitam pekat dan berbau menyengat. Setelah dicek, sumber pencemaran mengarah pada sebuah pabrik pengolahan bahan baku yang membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa proses pengolahan memadai.
Indra bergerak cepat. Bersama timnya yang minim hanya satu staf PNS di bidangnya ia turun ke lokasi membawa alat ukur kualitas air. Hasilnya menunjukkan tingkat pencemaran yang melampaui baku mutu.
Pabrik tersebut kemudian diberi teguran keras, diwajibkan memperbaiki instalasi pengolahan air limbah (IPAL), dan diminta mengajukan revisi dokumen UKL-UPL mereka.
“Kasus ini jadi pengingat, satu kelalaian bisa merugikan ratusan warga di hilir,” kata Indra.
Polusi Udara dan Tata Ruang
Selain pencemaran air, Indra juga menyoroti polusi udara yang kian mengkhawatirkan. Kemacetan di beberapa titik perkotaan di Garut, meski tidak separah Jakarta, tetap memberi kontribusi pada penurunan kualitas udara.
“Gas buang kendaraan adalah salah satu sumber polusi utama. Kalau tata kelola lalu lintas dan transportasi tidak diperbaiki, kualitas udara kita akan terus menurun,” tegasnya.
Masalah lain adalah tata ruang. Banyak kegiatan usaha tidak sesuai zonasi, yang akhirnya menghambat kelayakan dokumen lingkungan. “Kalau tata ruangnya tidak cocok, itu bukan hanya urusan teknis. Itu soal kepatuhan hukum,” jelas Indra.
Mengawasi Ribuan Izin dengan Dua Pasang Mata
Dalam lima tahun terakhir, sekitar 5.000 izin lingkungan terbit di Garut. Ironisnya, yang mengawasi hanya dua orang: Indra dan seorang staf PNS.
“Rasanya seperti menjaga hutan sendirian dengan sebatang obor,” ujarnya sambil tertawa getir. “Makanya kami harus pintar memilih prioritas. Kegiatan berisiko tinggi harus diutamakan.”
Keterbatasan SDM ini juga membuat DLH kadang baru mengetahui keberadaan perusahaan setelah ada protes dari warga.
Peran Konsultan Lingkungan
Banyak pelaku usaha menunjuk konsultan untuk menyusun dokumen AMDAL atau UKL-UPL. Indra mengingatkan, pemerintah tidak mengatur tarif jasa mereka, hanya menilai kelayakan dokumennya.
“Kalau mau hemat, jangan korbankan kualitas dokumen. Konsultan harus punya sertifikat dan kompetensi yang jelas. Kalau tidak, ujung-ujungnya malah merugikan pelaku usaha,” katanya.
Pendekatan Edukatif
Meski pekerjaannya sering bersinggungan dengan sanksi, Indra lebih suka pendekatan pembinaan. Ia kerap menggelar asistensi bagi pelaku usaha kecil, bahkan membantu langsung proses unggah dokumen ke AMDALNet bagi yang kesulitan.
“Pengawasan itu bukan mencari kesalahan. Kalau masyarakat paham sejak awal, semua pihak akan diuntungkan,” ujarnya.
Harapan Besar untuk Garut
Indra bermimpi Garut suatu hari memiliki sistem pengawasan lingkungan yang lebih modern, SDM teknis bersertifikat yang cukup, dan masyarakat yang sadar lingkungan.
“Lingkungan adalah warisan yang harus kita jaga. Kalau rusak hari ini, generasi berikutnya yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya. (A1)