
Garut,Medialibas.com – Di tengah lanskap perbukitan dan hutan yang selama ini menjadi identitas kawasan Garut Selatan, kini terbentang luka ekologis yang menganga. Kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan kian meluas, menyisakan kekhawatiran yang mendalam bagi para pegiat lingkungan.
Salah satunya, Sandi Wanadri, seorang aktivis muda pecinta alam dan pemerhati lingkungan dari Garut, bersuara lantang melihat kenyataan pahit yang terjadi di tanah kelahirannya.
Sandi, yang telah aktif mendampingi beberapa komunitas konservasi di kawasan Garut Selatan sejak lima tahun terakhir, mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi lingkungan saat ini. Menurutnya, eksistensi tambang baik yang mengantongi izin maupun yang beroperasi secara ilegal telah menjadi ancaman serius terhadap keberlangsungan ekosistem di wilayah tersebut.
“Hutan Hilang, Risiko Menggantung”
“Dulu kita mengenal Garut Selatan sebagai kawasan hijau yang kaya akan keanekaragaman hayati. Sekarang, banyak titik yang tadinya berhutan lebat berubah menjadi lahan gundul, tandus, dan berdebu,” ujar Sandi saat ditemui di lokasi bekas tambang di wilayah Kecamatan Mekarmukti, Garut Selatan. Senin, (02/06/2025).
Ia menunjukkan area bekas tambang yang kini hanya menyisakan bukit-bukit gersang, tanpa tutupan vegetasi, tanpa sistem penyangga alami. Kondisi tersebut menurutnya sangat mengkhawatirkan karena meningkatkan potensi bencana, terutama saat musim penghujan tiba.
“Kita berbicara tentang potensi longsor, banjir bandang, bahkan krisis air bersih di masa depan. Hutan itu bukan hanya sekadar pepohonan ia adalah sistem penyeimbang yang kompleks. Saat sistem itu dirusak, maka seluruh tatanan ikut terguncang,” tambahnya.
“Tambang Ilegal Jalan Terus, Hukum Jalan di Tempat”
Sandi tak menampik bahwa tambang memberikan kontribusi ekonomi bagi sebagian pihak. Namun ia menilai bahwa manfaat ekonomi jangka pendek tidak sebanding dengan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan. Ia mengkritisi lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah maupun pusat terhadap aktivitas pertambangan ilegal yang masih terus beroperasi di kawasan yang sejatinya merupakan area lindung atau penyangga.
“Ada papan ‘Tambang Ini Ditutup’, tapi kenyataannya kegiatan masih berjalan. Ini bukan hanya persoalan lingkungan, tapi juga ketegasan hukum dan integritas birokrasi. Kalau tambang-tambang ilegal ini terus dibiarkan, maka kehancuran Garut Selatan tinggal menunggu waktu,” tegasnya.
Ia juga menyebut bahwa beberapa lokasi tambang bahkan telah memasuki kawasan yang dekat dengan permukiman warga, menimbulkan keresahan dan konflik sosial di tengah masyarakat.
Harapan Hijau: Inisiatif Warga dan Komunitas
Namun di tengah situasi suram itu, Sandi tak kehilangan harapan. Ia mengapresiasi munculnya gerakan penghijauan dari berbagai elemen masyarakat, mulai dari komunitas pemuda, kelompok tani, hingga sekolah-sekolah yang mulai aktif menanam kembali pohon di lahan-lahan yang rusak.
“Melihat spanduk bertuliskan ‘Area Penghijauan’ dan melihat tangan-tangan kecil menanam bibit pohon adalah harapan. Ini bukan sekadar simbolik. Ini adalah perlawanan senyap terhadap kerusakan. Tapi tentu saja penghijauan tidak bisa berdiri sendiri,” kata Sandi.
Menurutnya, upaya pemulihan harus bersifat sistematis, berkelanjutan, dan terintegrasi dalam kebijakan daerah. Penghijauan perlu diiringi dengan pendampingan teknis, perlindungan hukum terhadap kawasan yang sudah direhabilitasi, serta pelibatan masyarakat adat sebagai penjaga kawasan secara kultural.
Rekomendasi: Kolaborasi Menyeluruh sebagai Kunci
Sandi menyerukan perlunya langkah konkret dari semua pihak untuk menyelamatkan Garut Selatan. Ia menyampaikan beberapa rekomendasi strategis, antara lain:
Penegakan hukum tegas terhadap tambang-tambang ilegal, tanpa pandang bulu.
Peninjauan ulang tata ruang kawasan Garut Selatan, dengan menitikberatkan pada aspek kelestarian dan daya dukung lingkungan.
Peningkatan literasi lingkungan di kalangan masyarakat, termasuk sekolah-sekolah di wilayah rawan.
Pembentukan forum kolaboratif multipihak pemerintah, LSM, tokoh masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal untuk merancang dan melaksanakan program restorasi berkelanjutan.
“Kalau kita menunggu satu pihak saja untuk menyelesaikan ini, maka yang kita tunggu adalah kehancuran. Tapi jika semua bergerak bersama, harapan itu nyata. Garut Selatan masih bisa diselamatkan,” ujar Sandi optimistis.
Penutup: Alarm untuk Generasi Mendatang
Di akhir wawancara, Sandi menegaskan bahwa perjuangan menyelamatkan Garut Selatan bukan hanya soal lingkungan, tapi soal warisan untuk generasi mendatang.
“Alam sudah memberi banyak. Sekarang alam sedang meminta perhatian. Kita mau terus mengeruk, atau mulai merawat? Garut Selatan sedang terluka. Tapi luka itu masih bisa sembuh, asal kita semua peduli,” pungkasnya. (AA)