
Garut,Medialibas.com – Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, mengeluarkan peringatan keras kepada pelaku usaha minimarket dan bangunan komersial lainnya yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ia menegaskan, regulasi ini bukan sekadar formalitas perizinan, tetapi tanggung jawab nyata untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Jangan hanya pikir keuntungan. Kewajiban lahan hijau ini ada untuk melindungi lingkungan dari banjir, genangan, dan kerusakan ekosistem akibat pembangunan yang masif,” ujar Tedi kepada Medialibas.com, Kamis (14/08/2025).
Aturan Jelas, Pelanggaran Masih Terjadi
Menurut Tedi, kewajiban penyediaan lahan hijau telah diatur tegas dalam Undang-Undang Penataan Ruang serta Peraturan Menteri PUPR tentang Koefisien Dasar Hijau (KDH). Besaran KDH ini, umumnya antara 10–30% dari luas lahan yang harus disediakan sebagai RTH atau area resapan air.
Ketentuan tersebut diterapkan pada saat pengurusan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), di mana pemerintah daerah menentukan persentase lahan hijau yang wajib dipenuhi. Bagi pemilik dengan lahan terbatas, desain bangunan harus disesuaikan atau dilengkapi dengan sumur resapan agar tetap mematuhi aturan.
Namun, hasil pantauan LIBAS di sejumlah wilayah menunjukkan fakta memprihatinkan: banyak minimarket yang membangun hampir seluruh lahan untuk bangunan, parkir, dan akses jalan, tanpa menyisakan tanah terbuka yang memadai.
“Di lapangan, kami masih menemukan pelanggaran. Ironisnya, ada bangunan yang berdiri megah di tengah pemukiman, tapi tidak punya area hijau sama sekali. Pemerintah daerah seharusnya bertindak tegas,” tegas Tedi.
Ketimpangan Pengawasan Antarwilayah
Tedi memaparkan bahwa di kota besar seperti Jakarta, Bekasi, dan Bandung, aturan KDH untuk minimarket dan bangunan komersial diterapkan secara ketat, bahkan menjadi salah satu syarat mutlak dalam pengajuan izin. Sementara di beberapa daerah lain, pengawasannya cenderung longgar.
“Di daerah dengan pengawasan lemah, investor sering memanfaatkan celah. Mereka membangun tanpa memenuhi standar RTH, dan akibatnya masyarakat sekitar yang menanggung dampak banjir atau drainase buruk,” ungkapnya.
LIBAS menilai ketidakkonsistenan penerapan aturan ini berpotensi mempercepat degradasi lingkungan, terutama di kawasan padat penduduk yang mengalami alih fungsi lahan secara masif.
Dampak Nyata bagi Lingkungan dan Warga
Tidak terpenuhinya lahan hijau pada minimarket bukan hanya masalah estetika kota, tetapi juga berdampak langsung pada kualitas lingkungan. Hilangnya area resapan memperburuk risiko banjir saat musim hujan, memicu peningkatan suhu mikro (urban heat island), dan mengurangi kualitas udara.
“Kita sedang menghadapi perubahan iklim, tapi justru mengurangi area hijau. Ini kebijakan yang mundur. Minimarket yang abai berarti ikut memperburuk kondisi lingkungan,” kata Tedi.
Ia mencontohkan, di beberapa titik pusat perdagangan di Garut, Bogor, dan Bekasi, kawasan yang dulunya memiliki halaman hijau kini berubah menjadi hamparan beton dan aspal. Saat hujan deras, air tidak lagi meresap ke tanah, melainkan langsung meluap ke jalan dan permukiman warga.
Desakan Audit dan Sanksi Tegas
Untuk mencegah kerusakan lebih jauh, PLAB mendesak pemerintah daerah melakukan audit menyeluruh terhadap minimarket dan bangunan komersial yang telah berdiri. Audit ini harus memeriksa kepatuhan terhadap KDH, serta memastikan adanya perbaikan desain jika ditemukan pelanggaran.
“Kalau terbukti melanggar, jangan hanya diberi peringatan. Cabut izin usaha atau hentikan operasional sementara sampai mereka memenuhi aturan. Tanpa sanksi tegas, pelanggaran akan terus terjadi,” tegas Tedi.
Ia juga mengajak masyarakat untuk aktif melaporkan bangunan yang tidak menyediakan lahan hijau. “Kesadaran publik penting, karena ini menyangkut masa depan lingkungan dan keselamatan warga,” pungkasnya. (A1)