
Garut,Medialibas.com – Persoalan lingkungan kembali menyeruak ke permukaan. Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) dengan lantang menuntut Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat agar tidak lagi setengah hati dalam menjaga kawasan hutan lindung. Desakan ini bukan tanpa alasan: degradasi hutan, alih fungsi lahan, serta ancaman bencana ekologis terus menghantui masyarakat Garut.
Ketua LIBAS, Tedi Sutardi, menilai Pemkab Garut seolah berjalan di tempat dalam mengelola kawasan lindung yang notabene merupakan benteng terakhir kelestarian ekologi. Padahal, regulasi jelas sudah ada, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Pemerintah daerah wajib serius. Jangan sampai kawasan hutan lindung hanya jadi slogan, sementara kenyataannya dibiarkan rusak dan dikuasai oleh kepentingan tertentu. Garut sedang berada di persimpangan: mau selamatkan lingkungan atau biarkan kerusakan semakin parah,” tegas Tedi Sutardi. Sabtu,(16/08/2025).
Kawasan Lindung Terancam: Dari Hulu ke Hilir
Garut dikenal memiliki bentang alam yang kaya dari hutan lindung, kawasan resapan air, hingga daerah konservasi. Namun kenyataannya, banyak kawasan itu justru terancam keberadaannya. Alih fungsi hutan untuk pertanian komersial dan pemukiman liar marak terjadi, sementara pengawasan pemerintah masih dianggap lemah.
LIBAS menyoroti bahwa kawasan hutan lindung bukan sekadar ruang hijau, melainkan penopang kehidupan. Fungsinya menjaga ketersediaan air tanah, mencegah banjir bandang, mengurangi risiko longsor, hingga melindungi keanekaragaman hayati. Ketika fungsi ini terganggu, dampaknya langsung dirasakan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana.
RTRW Hanya di Atas Kertas
Kritik lain yang dilontarkan LIBAS adalah lemahnya implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Meski secara aturan kawasan hutan lindung sudah dipetakan, dalam praktiknya seringkali dilanggar. Pembangunan tanpa kajian lingkungan, pembukaan lahan baru, hingga praktik perizinan yang longgar dianggap memperparah kondisi.
“Jangan jadikan RTRW sekadar dokumen formalitas. Faktanya di lapangan, pelanggaran tata ruang terus terjadi, dan pemerintah seperti menutup mata,” sindir Tedi.
Keterlibatan Masyarakat Jadi Kunci
Menurut LIBAS, solusi penyelamatan kawasan hutan tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam setiap kebijakan, sebab merekalah yang sehari-hari bersentuhan dengan hutan. Tanpa partisipasi publik, upaya konservasi hanya akan jadi wacana tanpa tindakan nyata.
LIBAS juga mengingatkan bahwa keberpihakan pada masyarakat sekitar hutan penting dilakukan agar tidak muncul konflik kepentingan. Pemberdayaan ekonomi ramah lingkungan, program rehabilitasi, hingga edukasi konservasi dianggap perlu segera diperluas.
Tuntutan Tegas ke Pemkab Garut
LIBAS menuntut beberapa langkah konkret dari Pemkab Garut:
Audit menyeluruh kawasan lindung untuk memastikan fungsinya masih berjalan.
Penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pelanggaran tata ruang dan alih fungsi hutan.
Pemberdayaan masyarakat sekitar hutan melalui program ekonomi berbasis lingkungan.
Monitoring berkala dengan melibatkan akademisi, LSM, dan komunitas peduli lingkungan.
“Kalau pemerintah daerah masih lamban, maka jangan salahkan rakyat ketika bencana semakin sering terjadi. Alam punya cara sendiri untuk menagih janji manusia,” tutup Tedi dengan nada keras.
Alarm Dini untuk Garut
Seruan LIBAS ini menjadi semacam alarm dini bagi Kabupaten Garut. Jika kawasan hutan lindung terus dibiarkan rusak, maka konsekuensi sosial-ekologis akan sangat berat. Banjir, longsor, kekeringan, bahkan krisis air bersih bukan lagi ancaman, melainkan kenyataan yang tinggal menunggu waktu.
Garut kini dituntut membuktikan keberpihakannya: apakah sekadar membiarkan lingkungan rusak demi kepentingan sesaat, atau benar-benar bergerak menyelamatkan bumi dan generasi mendatang. (A1)