
(Oleh: Pemred Medialibas.com)
Garut Opini,Medialibas.com – Delapan puluh tahun kemerdekaan. Bendera Merah Putih masih berkibar, lagu kebangsaan masih dinyanyikan dengan lantang. Namun, di balik simbol-simbol kebangsaan itu, luka lama bangsa ini belum juga sembuh: korupsi merajalela, kesenjangan semakin menganga, dan demokrasi sering menjadi sandiwara.
Cita-cita Indonesia berdaulat, rakyat sejahtera, dan bangsa maju masih jauh panggang dari api. Slogan “Indonesia digjaya” sering terdengar indah di podium-podium politik, tetapi di lapangan, realitanya penuh ironi.
Korupsi: Wabah yang Tidak Pernah Usai
Kasus demi kasus korupsi silih berganti, seakan-akan KPK hanya menjadi “pemadam kebakaran” sesaat. Dari kasus bansos era pandemi yang menyeret Menteri Sosial hingga miliaran rupiah raib dari rakyat miskin yang seharusnya terbantu, hingga kasus BTS Kominfo yang melibatkan pejabat tinggi negara, semua memperlihatkan betapa rakusnya sebagian elite.
Bahkan institusi yang seharusnya menjadi benteng hukum, tak jarang ikut tercoreng. Publik masih ingat kasus eks Ketua KPK Firli Bahuri yang justru terseret dugaan korupsi. Ironis, lembaga yang lahir untuk memberantas korupsi malah dipimpin oleh orang yang diduga bermain kotor.
Bagaimana mungkin kita bicara tentang “Indonesia maju” jika uang rakyat terus dijadikan bancakan?
Kesenjangan: Negeri Dua Wajah
Di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan kota besar lainnya, gedung pencakar langit menjulang, pusat belanja dipenuhi kelas menengah atas yang sibuk berbelanja barang impor. Namun di pelosok Papua, NTT, atau pedalaman Kalimantan, masih banyak rakyat yang harus berjalan berjam-jam hanya untuk mencari air bersih atau sekolah dengan ruang kelas reyot.
Data BPS menunjukkan jutaan rakyat masih hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara itu, daftar orang terkaya Indonesia setiap tahun terus bertambah panjang. Oligarki semakin kuat, menguasai sektor tambang, perkebunan, hingga media. Rakyat kecil? Mereka hanya jadi penonton.
Apakah ini wajah Indonesia yang sejahtera? Ataukah kita sedang membiarkan republik ini terbelah menjadi Indonesia elite dan Indonesia rakyat jelata?
Politik Transaksional: Demokrasi yang Terkorupsi
Pemilu seharusnya menjadi pesta rakyat. Nyatanya, ia lebih sering menjadi ajang transaksi. Tak jarang, suara rakyat dibeli dengan amplop, sembako, atau janji palsu. Biaya politik yang tinggi memaksa banyak calon pejabat menjadikan jabatan sebagai “investasi”, yang pada akhirnya harus balik modal dengan korupsi.
Lihat saja skandal jual beli jabatan di Kementerian Agama beberapa tahun lalu, atau praktik mahar politik yang sering terdengar di balik layar pemilu. Semua ini menunjukkan betapa demokrasi kita kehilangan ruh.
Kursi kekuasaan tidak lagi diperebutkan untuk mengabdi, tetapi untuk menguasai.
Ekonomi yang Gagal Berdaulat
Kita bangga dengan jargon “Indonesia kaya sumber daya alam”. Namun siapa yang menikmatinya? Batu bara, nikel, emas, dan sawit sebagian besar dikuasai oleh konglomerat dan perusahaan asing. Rakyat hanya mendapat remah-remah, bahkan sering kali jadi korban kerusakan lingkungan akibat tambang.
Lihatlah Freeport di Papua, atau ratusan tambang ilegal yang merusak sungai dan hutan. Ironisnya, rakyat di sekitar lokasi tambang justru tetap miskin, sekolah minim, dan akses kesehatan buruk.
Sementara itu, kita masih impor bahan pokok: kedelai, gula, bahkan garam.
Pertanyaannya sederhana: bagaimana mungkin negara maritim dengan laut luas justru bergantung pada impor garam? Apakah ini yang disebut berdaulat?
Indonesia Digjaya: Masih Sekadar Slogan
Delapan puluh tahun merdeka, bangsa ini seharusnya sudah bisa berdiri tegak tanpa ragu. Namun kenyataannya, cita-cita Indonesia digjaya masih tersandera oleh korupsi, oligarki, dan politik transaksional.
Indonesia akan benar-benar digjaya hanya bila:
Korupsi diberantas tanpa pandang bulu, termasuk elite yang duduk di lingkar kekuasaan.
Sistem politik dibersihkan dari transaksi uang.
Sumber daya alam dikelola untuk rakyat, bukan untuk segelintir oligarki.
Kesejahteraan hadir nyata, bukan sekadar janji kampanye.
Janji yang Harus Ditepati
Bangsa ini lahir dari darah dan air mata pejuang yang ingin melihat rakyat merdeka dan hidup bermartabat. Delapan puluh tahun kemudian, janji itu belum sepenuhnya ditepati.
Jika slogan “Indonesia digjaya” hanya berhenti di bibir politisi, maka ia hanyalah dusta. Tetapi bila seluruh rakyat bersama-sama menuntut keadilan, menolak korupsi, melawan oligarki, dan menjaga persatuan, maka Indonesia digjaya bisa benar-benar menjadi kenyataan.
Saatnya berhenti berpuas diri dengan retorika. Saatnya bekerja keras menepati janji kemerdekaan. Karena hanya dengan itu, anak cucu kita bisa mewarisi negeri yang benar-benar layak dibanggakan.