
Garut,Medialibas.com – Deru lokomotif yang kembali menggema di jalur Cicalengka–Garut kini menjadi simbol kebangkitan sebuah warisan transportasi berusia lebih dari satu abad. Jalur kereta sepanjang 19 kilometer ini bukan hanya sekadar rel baja, melainkan jejak sejarah panjang masyarakat Priangan Timur, dari era kolonial Belanda, masa kejayaan, runtuh, hingga akhirnya hidup kembali di era modern.
Jejak Kolonial: Dari Garut ke Dunia Luar
Pembangunan jalur kereta Cicalengka-Garut dimulai pada tahun 1889 oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuan utama jalur ini adalah memperlancar pengangkutan hasil perkebunan, seperti kopi, teh, dan kina, dari Garut menuju pusat perdagangan di Bandung, Batavia, hingga ke pelabuhan untuk diekspor.
Sejarawan lokal Garut, Dendi Mulyana, menyebutkan bahwa jalur ini awalnya dibangun bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kolonial.
“Kereta Cicalengka–Garut adalah alat eksploitasi ekonomi. Namun dampaknya tak bisa dipungkiri: jalur ini ikut membentuk denyut ekonomi Garut dan membuka akses warga pada peradaban baru,” ujarnya.
Masa Kejayaan Kereta Garut
Pada pertengahan abad ke-20, kereta api menjadi moda transportasi andalan masyarakat Garut. Jalur ini ramai digunakan oleh pedagang, pelajar, hingga wisatawan yang ingin berkunjung ke kota dodol tersebut. Stasiun Garut bahkan sempat menjadi salah satu stasiun paling sibuk di Jawa Barat.
Asep Hilmat (70), warga Tarogong yang sempat merasakan masa keemasan kereta, mengaku masih ingat betul suasana hiruk-pikuk di stasiun.
“Dulu, setiap pagi stasiun penuh. Banyak pedagang bawa hasil bumi, ada juga orang-orang yang mau ke Bandung. Saya kecil sering ikut bapak naik kereta, rasanya bangga sekali,” kenangnya.
Kemunduran dan ‘Ilusi’
Namun, memasuki 1970-an hingga awal 1980-an, popularitas kereta api mulai meredup. Pertumbuhan kendaraan pribadi dan bus antarkota membuat warga lebih memilih transportasi jalan raya. Infrastruktur rel yang semakin rusak dan minimnya perawatan membuat layanan kereta semakin tak diminati.
Akhirnya, pada tahun 1983, jalur Cicalengka–Garut resmi ditutup. Sejak itu, rel yang dulunya sibuk hanya menjadi besi berkarat, tertutup semak, bahkan dijadikan tempat berdiri bangunan liar.
“Kereta di Garut sempat jadi cerita hantu. Ada rel tapi tak ada kereta. Anak-anak hanya tahu dari foto atau cerita orang tua,” kata Suhartono (55), warga Ciwalen.
Reaktivasi: Mimpi yang Jadi Nyata
Harapan untuk menghidupkan kembali jalur ini mulai mencuat sejak pemerintah meluncurkan program reaktivasi jalur kereta nonaktif. Namun prosesnya tidak mudah. Pembebasan lahan, relokasi bangunan yang berdiri di atas jalur, hingga restorasi infrastruktur tua membutuhkan waktu dan biaya besar.
Pihak PT Kereta Api Indonesia (KAI) menegaskan, reaktivasi jalur ini adalah langkah strategis untuk memperkuat konektivitas di Jawa Barat.
“Cicalengka–Garut bukan sekadar nostalgia, tapi kebutuhan nyata masyarakat. Dengan jalur ini, akses ke Garut akan lebih mudah, terutama untuk pariwisata dan perdagangan,” kata Manager Humas PT KAI Daop 2 Bandung, Ayep Hanapi.
Bangkit di Era Modern
Kini, setelah lebih dari 40 tahun mati suri, kereta api Cicalengka–Garut resmi beroperasi kembali. Dengan rangkaian lokomotif modern, jalur ini membawa penumpang dengan rasa nostalgia, namun tetap menjawab kebutuhan transportasi masa kini.
Rina Marlina (34), warga Garut Kota yang baru pertama kali mencoba kereta ini, mengaku terharu.
“Dulu saya hanya dengar cerita dari ayah saya soal kereta ke Garut. Sekarang saya bisa merasakannya sendiri. Semoga ini membuka peluang baru, terutama untuk wisata,” ujarnya sambil tersenyum.
Harapan Baru untuk Garut
Kembalinya jalur Cicalengka–Garut diyakini akan memberi dampak signifikan bagi perekonomian. Garut yang terkenal dengan dodol, jeruk garut, serta destinasi wisata alamnya kini lebih mudah dijangkau wisatawan. Selain itu, warga lokal memiliki alternatif transportasi yang lebih cepat dan nyaman.
Sejarawan Dedi menutup dengan sebuah catatan reflektif:
“Jalur ini adalah simbol. Ia pernah dibangun untuk kolonial, pernah mati suri, lalu kini bangkit untuk rakyat. 136 tahun usianya, dan ia masih punya peran penting dalam masa depan Garut.”
Dengan begitu, jalur kereta Cicalengka–Garut bukan sekadar rel baja, melainkan juga cermin perjalanan sebuah kota: dari mimpi, ilusi, hingga menjadi nyata kembali. (AGS)