
Garut,Medialibas.com – Di tengah kian parahnya kerusakan lingkungan, suara kepedulian terus menggema dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), sebuah organisasi yang konsisten menyuarakan dan menggerakkan aksi nyata penyelamatan alam. Sang ketua, Tedi Sutardi, menegaskan bahwa persoalan lingkungan tidak bisa lagi dipandang sebelah mata.
“Kerusakan alam yang terjadi hari ini sudah sangat mengkhawatirkan. Mulai dari hutan yang gundul akibat penebangan liar, pencemaran sungai yang semakin masif, hingga berkurangnya resapan air. Jika kita tidak segera bergerak, dampaknya akan menghantam kehidupan kita sendiri, bahkan generasi berikutnya,” ujar Tedi dalam keterangannya, Senin (18/08/2025).
Ancaman Nyata di Depan Mata
Garut dikenal sebagai daerah yang kaya akan sumber daya alam, namun dalam beberapa tahun terakhir, kerusakan ekosistem terus terjadi. Longsor, banjir bandang, dan krisis air bersih kerap melanda sejumlah wilayah. Menurut Tedi, bencana-bencana itu bukan semata karena faktor alam, melainkan akibat ulah manusia yang kurang peduli terhadap keseimbangan lingkungan.
“Seringkali masyarakat tidak sadar bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan atau menebang pohon tanpa aturan, berkontribusi langsung pada bencana. Alam memiliki caranya sendiri untuk ‘membalas’. Inilah yang ingin kami ubah melalui gerakan edukasi,” tambahnya.
Edukasi yang Menyentuh Kehidupan Sehari-Hari
LIBAS tidak hanya mengandalkan ceramah atau penyuluhan, tetapi terjun langsung ke lapangan. Penanaman pohon di lereng rawan longsor, membersihkan aliran sungai dari sampah plastik, serta sosialisasi di sekolah menjadi agenda rutin mereka.
Bagi Tedi, generasi muda harus menjadi garda terdepan. “Sejak di bangku sekolah, anak-anak harus ditanamkan kesadaran mencintai lingkungan. Jika sejak kecil terbiasa menjaga alam, mereka akan tumbuh dengan mental peduli dan tanggung jawab yang kuat,” tegasnya.
Selain itu, LIBAS juga menggandeng komunitas pemuda, kelompok tani, hingga majelis taklim, untuk memperluas jangkauan edukasi. Dengan pendekatan komunitas, pesan cinta lingkungan lebih mudah diterima karena langsung menyentuh kebutuhan masyarakat.
Tantangan dan Realitas Sosial
Namun, perjuangan itu tidak selalu mulus. Tantangan terbesar menurut Tedi adalah masih adanya anggapan bahwa urusan lingkungan hanya tanggung jawab pemerintah atau aktivis tertentu. Padahal, kata dia, setiap orang memiliki peran yang sama penting.
“Kesadaran kolektif ini yang kami dorong. Lingkungan bukan milik satu kelompok saja, melainkan milik semua. Kalau rusak, semua ikut menanggung kerugian,” ucapnya dengan tegas.
Di sisi lain, keterbatasan dukungan, baik dari segi anggaran maupun tenaga, juga menjadi hambatan. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat LIBAS untuk terus bergerak. “Kami percaya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Jika masyarakat mau bersama-sama, semua akan lebih mudah,” tambahnya.
Membangun Budaya Peduli Alam
LIBAS menekankan bahwa menjaga alam bukan sekadar gerakan sesaat, melainkan harus menjadi budaya hidup. Dari hal sederhana seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi plastik sekali pakai, hingga menanam pohon di pekarangan rumah, semua bisa memberikan dampak besar jika dilakukan bersama.
“Kita harus membiasakan diri dengan pola hidup yang ramah lingkungan. Itu bukan gaya hidup mewah, tapi kebutuhan. Sebab tanpa alam yang sehat, kehidupan manusia juga tidak akan bertahan lama,” ungkap Tedi.
Harapan Masa Depan
Ke depan, LIBAS berkomitmen untuk terus memperluas jejaring kerja sama dengan pemerintah daerah, sekolah, komunitas, hingga organisasi kepemudaan. Harapannya, gerakan ini bisa menular ke semakin banyak orang, hingga akhirnya menjadi arus utama dalam kehidupan masyarakat Garut.
“Visi kami sederhana: ingin melihat bumi, khususnya Garut, tetap hijau, bersih, dan sehat untuk anak cucu kita. Kami ingin agar masyarakat menyadari bahwa menjaga alam berarti menjaga kehidupan,” pungkas Tedi.
Melalui gerakan edukasi yang konsisten, LIBAS bertekad menjadikan kepedulian lingkungan bukan sekadar wacana, melainkan budaya nyata. Dari Garut, Tedi berharap lahir gelombang perubahan yang bisa menginspirasi daerah lain di Indonesia. (A1)