
Garut,Medialibas.com – Isu kerusakan hutan dan pemanfaatan kawasan tanpa izin kembali mengguncang ruang publik. Hasil pemeriksaan terbaru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat potensi kerugian negara yang fantastis, yakni mencapai Rp 20,23 triliun dan USD 6,16 miliar.
Angka ini bukanlah main-main, karena kerugian tersebut berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tak tertagih, khususnya Pajak Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), akibat ulah sejumlah perusahaan yang memanfaatkan kawasan hutan tanpa izin resmi.
Kerugian Multidimensi
Aktivis pemerhati lingkungan, Asep Yadi, menyebut praktik ini sebagai bentuk kejahatan lingkungan yang berlapis. Menurutnya, selain kerugian finansial yang ditanggung negara, dampak terbesar justru menimpa ekosistem hutan dan masyarakat kecil yang bergantung pada keberlanjutan hutan.
“Kerugian triliunan rupiah itu baru sisi kasatmata. Yang tidak kalah berbahaya adalah hilangnya fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Ekosistem hancur, keanekaragaman hayati menurun drastis, perubahan iklim makin parah, dan masyarakat adat maupun lokal kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menopang hidup mereka,” tegas Asep Yadi, Selasa (19/08/2025).
Ia menambahkan, kerusakan hutan akibat pemanfaatan tanpa izin tidak jarang memicu bencana ekologis, mulai dari banjir bandang, longsor, hingga kekeringan. “Semua ini ujungnya ditanggung rakyat kecil, sementara perusahaan yang meraup untung seringkali lolos dari jeratan hukum,” ujarnya.
Sorotan terhadap KLHK
Menurut Asep, KLHK memang telah mengeluarkan sejumlah kebijakan seperti sanksi administratif berupa denda dan pencabutan izin usaha, serta penerapan Automatic Blocking System (ABS) untuk memutus akses perusahaan yang membandel. Namun, implementasi kebijakan ini dinilai masih jauh dari kata maksimal.
“Aturan itu bagus di atas kertas, tapi jika pengawasan di lapangan lemah, tetap saja perusahaan bisa lolos. KLHK jangan hanya sibuk menindak setelah pelanggaran terjadi, tapi harus memperketat pengawasan sejak awal agar tidak ada celah untuk penyalahgunaan izin,” kritiknya.
Asep juga menilai, lemahnya pengawasan membuka ruang bagi praktik “tebang pilih” dalam penegakan hukum. Perusahaan besar yang memiliki kedekatan dengan penguasa seringkali lebih mudah lolos dari sanksi, sementara perusahaan kecil atau masyarakat lokal langsung ditekan.
Tuntutan Transparansi dan Audit Menyeluruh
Dalam pandangannya, Asep Yadi menekankan pentingnya transparansi data dan audit menyeluruh terhadap perusahaan yang terbukti memanfaatkan kawasan hutan tanpa izin.
“Publik berhak tahu siapa saja perusahaan yang merugikan negara triliunan rupiah ini. Jangan ada yang ditutupi. Kalau KLHK benar-benar serius, data itu harus dibuka secara transparan agar masyarakat ikut mengawasi,” ungkapnya.
Ia juga mendesak agar pemerintah melibatkan lembaga independen dan masyarakat sipil dalam pengawasan hutan, sehingga penegakan hukum tidak hanya jadi urusan birokrasi yang rawan kompromi.
Harapan untuk Penyelamatan Hutan
Bagi Asep, penyelamatan hutan bukan hanya soal menjaga pohon, tetapi soal menjaga masa depan bangsa. Ia menekankan bahwa hutan Indonesia adalah aset strategis yang tidak ternilai.
“Jika kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah, itu seharusnya menjadi alarm keras. Hutan kita adalah benteng terakhir menghadapi krisis iklim global. Jika pemerintah gagal menjaga hutan, maka generasi mendatanglah yang akan menanggung akibat paling buruk,” pungkasnya.
Kasus pemanfaatan hutan tanpa izin ini menjadi gambaran nyata betapa besar potensi kebocoran penerimaan negara sekaligus kerusakan lingkungan yang terjadi akibat lemahnya pengawasan. Kritik keras dari aktivis lingkungan seperti Asep Yadi menjadi pengingat bahwa penyelamatan hutan Indonesia tidak bisa ditunda lagi.
KLHK kini dituntut untuk tidak hanya mengandalkan regulasi, tetapi memperkuat pengawasan, membuka data secara transparan, dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Karena jika tidak, praktik serupa akan terus berulang, merugikan negara, merusak ekosistem, dan menyingkirkan hak-hak masyarakat yang bergantung pada hutan. (A1)