
Oplus_131072
Jakarta,Medialibas.com – Dunia pers Indonesia mendapat kepastian hukum baru terkait keberadaan media berbasis internet atau media siber. Melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri, dipertegas bahwa karya jurnalistik yang dipublikasikan oleh perusahaan pers tidak dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pernyataan ini ditegaskan oleh Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Teguh Santosa, saat diwawancarai Medialibas.com pada Kamis (21/8/2025). Menurutnya, SKB tersebut menjadi dasar penting untuk menempatkan produk pers pada posisi hukum yang tepat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“SKB UU ITE ini adalah angin segar bagik9k dunia pers. Ia mempertegas bahwa karya jurnalistik media siber berada di bawah lex spesialis UU Pers, bukan instrumen pidana umum dalam UU ITE,” jelas Teguh.
Produk Pers Berlaku Lex Spesialis
Teguh menegaskan, ketentuan dalam Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang sering digunakan untuk memproses kasus pencemaran nama baik, tidak bisa diberlakukan pada media pers. Pasalnya, berita yang dipublikasikan oleh media siber berbadan hukum, melalui proses jurnalistik, secara otomatis dilindungi UU Pers.
“Pasal 27 ayat 3 itu tidak berlaku untuk berita yang diproduksi media siber. Selama berita itu lahir dari proses jurnalistik, UU Pers yang berlaku. Itu sudah lex spesialis,” ungkapnya.
Namun, ia mengingatkan wartawan tetap harus berhati-hati dalam bersikap. Jika seorang jurnalis bertindak di luar kapasitas jurnalistik, misalnya menulis opini pribadi di media sosial, maka konsekuensinya berbeda. “Jika itu tulisan pribadi di medsos, maka berlaku UU ITE. Jadi harus jelas membedakan ranahnya,” tegas Teguh.
Literasi Publik Sangat Penting
Selain perlindungan hukum, SKB ini menurut JMSI juga penting untuk meningkatkan literasi publik. Banyak masyarakat masih menganggap setiap tulisan di internet adalah berita, padahal tidak semua informasi digital bisa dikategorikan sebagai produk jurnalistik.
“Publik perlu paham, karya jurnalistik itu melewati proses verifikasi, editing, dan tunduk pada kode etik. Sementara postingan di media sosial tidak bisa dianggap produk pers. SKB ini memberi kepastian agar masyarakat bisa membedakan keduanya,” jelasnya.
Pedoman Baru Bagi Semua Pihak
JMSI juga mengapresiasi penerbitan buku saku pedoman penerapan UU ITE yang dikeluarkan bersamaan dengan SKB tersebut. Pedoman ini diharapkan bisa menjadi pegangan bersama, baik bagi aparat penegak hukum, wartawan, maupun masyarakat, agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap media.
“Pedoman ini adalah langkah maju. Ia bukan hanya melindungi media, tapi juga memberi arah jelas bagi aparat hukum agar tidak salah menerapkan UU. Bagi wartawan, ini pegangan agar mereka paham batas perlindungan hukum,” ujar Teguh.
Tanggung Jawab Media Tetap Utama
Meski mendapat perlindungan hukum, Teguh mengingatkan media siber untuk tidak terjebak pada rasa aman berlebihan. Justru, media dituntut semakin profesional dan menjaga integritasnya.
“Jangan sampai media merasa kebal hukum. Produk jurnalistik harus tetap berimbang, akurat, dan tidak memuat informasi bohong. UU Pers melindungi, tapi juga mengikat dengan kewajiban profesional,” ucap Teguh.
Momentum Penting Bagi Kemerdekaan Pers
SKB ini menjadi momentum besar bagi penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Dengan adanya regulasi yang jelas, aparat penegak hukum diharapkan tidak lagi salah kaprah menggunakan UU ITE terhadap wartawan atau media siber. Setiap sengketa pemberitaan harus diarahkan ke Dewan Pers sesuai mekanisme yang diatur dalam UU Pers.
“Ini bukan sekadar keputusan administratif, tapi sebuah langkah strategis untuk memperkuat demokrasi. Media siber sekarang punya payung hukum yang lebih jelas, sementara masyarakat lebih terlindungi dari informasi yang menyesatkan,” pungkas Teguh, yang juga mantan pengurus PWI Pusat. (Ramdan.L)