
Bandung Barat,Medialibas.com – Sengketa lahan di kawasan Ciuyah, Kabupaten Bandung Barat, kembali mencuat dan menyeruak ke publik setelah terungkap adanya dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum internal Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Padahal, perkara ini sebenarnya sudah tuntas dengan putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 74/Pdt.G/2006.PN.BB tertanggal 9 April 2007 yang menyatakan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 321 atas nama Aman cacat hukum dan tidak sah.
Putusan tersebut bahkan sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yang berarti tidak ada lagi ruang perdebatan hukum. Namun ironisnya, hingga hari ini, lahan tersebut masih diperebutkan dengan dasar sertifikat turunan dari SHM 321.
Kondisi ini jelas menimbulkan tanda tanya besar: mengapa sertifikat cacat hukum masih bisa dipakai untuk menguasai tanah?
Fakta Hukum yang Diabaikan
Kuasa hukum pihak yang dirugikan, Ir. Suryadi, S.H., menegaskan bahwa segala bentuk perbuatan hukum yang bersumber dari SHM cacat tersebut otomatis batal demi hukum. Artinya, pengalihan, pemecahan, atau penerbitan sertifikat baru di atas tanah sengketa itu tidak memiliki dasar hukum yang sah.
“Ketika pengadilan sudah menyatakan SHM 321 cacat hukum, maka seluruh turunannya tidak sah. Tetapi anehnya, BPN masih menerbitkan sertifikat pecahan, seolah-olah putusan pengadilan bisa diabaikan. Ini jelas bentuk pelanggaran serius,” tegas Suryadi.
Ia bahkan menduga ada persekongkolan antara oknum di lapangan dengan pihak-pihak yang ingin menguasai lahan secara ilegal. Dugaan ini menguat karena meski amar putusan sudah jelas, praktik penguasaan tanah masih terus berjalan.
Kerugian Nyata bagi Masyarakat
Akibat permainan ini, sejumlah pihak yang seharusnya memiliki hak sah, termasuk Suhaya dan para pembeli legal, terancam kehilangan tanah yang dibelinya dengan sah. Mereka terpaksa harus berjuang kembali di jalur hukum, padahal pengadilan sebelumnya sudah memenangkan mereka.
“Bayangkan, rakyat kecil sudah menang di pengadilan, tetapi di lapangan justru tetap kalah karena ada permainan mafia tanah. Kalau hukum bisa diakali seperti ini, ke mana lagi masyarakat harus mencari keadilan?” ujar Suryadi dengan nada geram.
BPN dan Aparat Hukum Disorot
Sorotan tajam kini mengarah kepada BPN Bandung Barat yang dinilai lalai bahkan terkesan membiarkan praktik ilegal ini berlangsung. Seharusnya, setelah ada putusan inkracht, BPN mencabut sertifikat cacat dan seluruh pecahannya, bukan malah membiarkan dipakai sebagai dasar hukum baru.
Selain itu, aparat penegak hukum juga dituntut untuk lebih tegas dalam menindak dugaan pemalsuan dan penyerobotan tanah. Jika dibiarkan, kasus ini bisa menjadi preseden buruk dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap negara.
“Kasus Ciuyah ini adalah cermin nyata lemahnya penegakan hukum pertanahan di Indonesia. Kalau aparat hanya diam, maka mafia tanah akan semakin leluasa merampas hak rakyat,” tambah Suryadi.
Tuntutan Penegakan Hukum yang Tegas
Laporan yang dilayangkan pihak Suryana bukan sekadar kronologis perkara, tetapi juga bentuk seruan keras agar hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Mereka mendesak agar semua sertifikat turunan dari SHM 321 dicabut, dan pihak-pihak yang terlibat persekongkolan diproses pidana.
Masyarakat menilai kasus ini bisa menjadi ujian bagi pemerintah pusat, khususnya Presiden dan Menteri ATR/BPN yang kerap menggaungkan komitmen pemberantasan mafia tanah. Tanpa langkah nyata, komitmen itu hanya akan dianggap slogan kosong.
“Ini bukan hanya soal tanah, ini soal keadilan. Kalau hukum tidak dijalankan, maka rakyat akan selalu menjadi korban,” tutup Suryadi. (Achmad Syafei)