
Garut,Medialibas.com – Suara keras datang dari aktivis lingkungan, Tedi Sutardi, yang menyoroti kondisi alam di Kabupaten Garut khususnya dan Jawa Barat, bahkan Indonesia pada umumnya yang kini kian terpuruk akibat kerusakan lingkungan.
Saat di wawancarai Medialibas.com Dalam keterangannya, ia menggugat semua pihak yang selama ini abai hingga akhirnya alam tak lagi bersahabat dengan manusia.
“Tatkala alam sudah tak bersahabat lagi, ketika lingkungan sudah rusak parah, siapa yang mau bertanggung jawab?” ucap Tedi penuh tekanan, Sabtu (23/08/2025).
Fenomena Kerusakan yang Nyata
Tedi menegaskan, apa yang terjadi selama ini bukan sekadar peringatan, melainkan kenyataan pahit yang sedang dihadapi masyarakat. Ia mencontohkan banjir bandang yang kerap melanda Garut, longsor di berbagai titik pegunungan, hingga kekeringan yang mulai dirasakan di sejumlah kecamatan. Semua itu, menurutnya, adalah bukti nyata dari rusaknya ekosistem.
“Dulu orang bisa menebak musim dengan mudah, kapan hujan kapan kemarau. Sekarang cuaca sulit diprediksi. Itu tanda alam sudah tidak seimbang lagi. Sungai yang dulu jernih, sekarang penuh limbah. Hutan yang dulu rindang, sekarang gundul dan jadi ladang,” kata Tedi.
Ulah Manusia Jadi Biang Kerok
Aktivis yang dikenal vokal itu menuding ulah manusia sebagai penyebab utama. Alih fungsi lahan yang tak terkendali, tambang liar yang merusak kontur tanah, hingga maraknya perumahan dan industri yang mengorbankan kawasan hijau, semuanya berkontribusi mempercepat kerusakan.
“Ketika izin-izin dikeluarkan tanpa kajian lingkungan yang matang, siapa yang diuntungkan? Apakah rakyat? Tidak! Justru rakyat kecil yang menanggung akibatnya. Mereka kehilangan sawah, rumah, bahkan nyawa,” tegasnya.
Pemerintah dan Korporasi Disorot
Di lain sisi,Tedi juga menyoroti lemahnya peran pemerintah dan Aparat. Menurutnya, masih banyak kebijakan yang terkesan berpihak pada kepentingan korporasi besar ketimbang menjaga keberlangsungan alam.
“Di satu sisi, pemerintah bicara soal program penghijauan. Tapi di sisi lain, izin pembalakan hutan tetap dikeluarkan. Ada kontradiksi besar di situ. Padahal, kalau alam rusak, tak ada lagi investasi yang bisa selamat,” ujarnya lantang.
Lebih jauh, ia menilai, korporasi besar seringkali lolos dari jerat hukum meskipun terbukti merusak lingkungan. Sementara masyarakat kecil yang menebang sebatang pohon untuk bertahan hidup justru cepat ditindak.
“Ini jelas ketidakadilan. Harus ada keberanian politik untuk menindak siapa pun yang merusak, entah itu perusahaan, pejabat, atau oknum masyarakat,” tambah Tedi.
Krisis Tanggung Jawab
Di tengah situasi yang semakin memburuk, Yoman mempertanyakan krisis tanggung jawab. Ia menyebut tidak ada pihak yang benar-benar mau mengakui perannya dalam kerusakan lingkungan.
“Pemerintah sibuk beralasan, korporasi sibuk mencari keuntungan, masyarakat sibuk dengan kebutuhan harian. Lalu siapa yang peduli pada bumi kita? Siapa yang mau bertanggung jawab kalau nanti tanah kita tak lagi bisa dihuni?” tanyanya retoris.
Seruan untuk Bertindak
Sebagai penutup,Tedi menyerukan agar kesadaran kolektif segera dibangun. Ia menekankan perlunya aksi nyata, bukan sekadar slogan, untuk menyelamatkan lingkungan.
“Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi? Jangan tunggu bencana lebih besar datang. Alam punya cara sendiri untuk menagih balasannya. Dan saat itu tiba, kita semua yang akan menanggung akibatnya,” pungkasnya dengan penuh keprihatinan. (A1)