Oleh : Asep Sun sun (pemerhati lingkungan hidup )

Garut, Medialibas.com, Permasalahan pemanfaatan ruang di Indonesia selalu berulang: pusat dan daerah sibuk melempar tanggung jawab. Ketika terjadi pelanggaran pemanfaatan kawasan atau wilayah, publik hanya disuguhi drama tarik-ulur kewenangan. Padahal, aturan hukum sudah tegas menyatakan bahwa setiap kegiatan wajib tunduk pada dokumen Rekomendasi Pemanfaatan Ruang yang berfungsi memastikan kesesuaian dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Lempar Tanggung Jawab: Daerah vs Pusat
Daerah kerap berkilah bahwa izin dan rekomendasi teknis berada di tangan kementerian atau instansi pusat. Sebaliknya, pusat menuding daerah tidak tegas dalam pengawasan dan sering bermain mata dengan investor. Akibatnya, masyarakat menjadi korban—lingkungan rusak, konflik agraria merebak, dan ketidakpastian hukum makin memperparah iklim investasi.
Fenomena ini adalah bentuk nyata dari politik cuci tangan, seakan-akan RTRW hanya simbol tanpa gigi hukum. Padahal, aturan menegaskan sebaliknya.
Dasar Hukum yang Tegas
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Pasal 36 menegaskan bahwa pemanfaatan ruang wajib sesuai RTRW.
Pasal 61 huruf a menyebutkan bahwa setiap orang berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
Menegaskan standar penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang harus merujuk RTRW dan RDTR.
Dokumen Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) adalah instrumen utama memastikan bahwa rencana kegiatan tidak bertentangan dengan tata ruang.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 36 menegaskan izin lingkungan hanya dapat diberikan bila kegiatan sesuai dengan rencana tata ruang.
Dengan dasar hukum ini, jelas bahwa rekomendasi pemanfaatan ruang bukan sekadar formalitas, melainkan dokumen legal yang wajib dipatuhi.
Kenapa Lempar Masalah Terjadi?
Intervensi Politik dan Ekonomi: Daerah butuh investasi, pusat mengejar target pertumbuhan, keduanya mengabaikan aturan.
Ketidakjelasan Implementasi: Banyak tumpang tindih peraturan sektoral yang memberi celah bagi pejabat untuk berkelit.
Lemahnya Pengawasan: Baik pusat maupun daerah sering tidak serius menindak pelanggaran.
Penutup: Hentikan Drama, Terapkan Hukum!
Tidak ada alasan bagi pusat maupun daerah untuk terus saling menyalahkan. Aturan sudah jelas: pemanfaatan ruang harus tunduk pada RTRW. Rekomendasi pemanfaatan ruang adalah pagar hukum, bukan sekadar syarat administrasi. Jika aturan ini terus diabaikan, maka yang hancur bukan hanya tata ruang, melainkan juga kepercayaan rakyat terhadap negara. (Ted)