
Bandung,Medialibas.com – Hidup kadang tak berjalan sesuai rencana, begitulah yang dirasakan Rahmat Kurnia (48), warga Binong RT 04/01 Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Jawa Barat. Setelah lebih dari satu dekade bekerja di perusahaan ritel besar, nasib membawanya kini menjadi juru parkir di Jalan Gatot Subroto.
Sejak PHK yang menimpanya pada 2021, Rahmat terpaksa meninggalkan kenyamanan pekerjaan tetap dan beradaptasi dengan kerasnya hidup di jalanan.
“Saya tidak bisa hanya menunggu. Keluarga butuh makan, jadi saya pilih jadi juru parkir. Berat memang, tapi saya tidak mau menyerah,” ujarnya saat ditemui Selasa malam (16/09/2025).
Bertahan dengan Upah Pas-pasan
Rutinitas Rahmat dimulai dari pagi hingga malam, menantang panas dan hujan. Dari hasil menjaga parkir, ia hanya mampu meraih Rp50 ribu hingga Rp70 ribu per hari. Angka itu jelas jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang menembus Rp100 ribu setiap harinya.
“Kalau sepi, dapat Rp50 ribu saja sudah susah. Sementara kebutuhan keluarga terus naik,” keluhnya.
Tak jarang, ia harus berutang ke warung sekitar untuk menutupi kebutuhan mendesak. Menu makan sederhana sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kritik untuk Pemerintah
Dalam keterbatasannya, Rahmat menyampaikan kritik tajam terhadap kondisi ekonomi. Menurutnya, rakyat kecil semakin terhimpit karena harga kebutuhan melonjak sementara lapangan kerja semakin langka. “Pemerintah harusnya peduli. Gaji DPR naik, sembako naik, pajak naik. Rakyat kecil seperti kami bagaimana?” tegasnya.
Wajah Buruh Pasca PHK
Rahmat hanyalah satu dari ribuan pekerja yang terpaksa banting setir ke sektor informal pasca gelombang PHK, terutama mereka yang berusia di atas 40 tahun. Banyak dari mereka kini menjadi ojek online, pedagang kaki lima, hingga juru parkir, hanya demi bisa bertahan.
Semangat Tak Pernah Padam
Meski penuh keterbatasan, Rahmat tetap menjaga harapan. “Selama saya masih sehat, saya akan terus berusaha. Kalau saya menyerah, keluarga saya yang jadi korban,” ucapnya dengan tekad bulat.
Kisah Rahmat adalah potret nyata wajah rakyat kecil yang berjuang di tengah kesenjangan ekonomi. Ia mewakili suara banyak orang yang berusaha bertahan dalam senyap, di jalanan yang keras, dengan harapan sederhana: agar keluarganya tetap bisa hidup layak. (Agus.S)