
GARUT, Medialibas.com– Masyarakat di Kecamatan Tarogong Kaler, Garut, mulai bersuara keras terkait perkembangan wisata Cipanas yang dianggap tidak ramah terhadap hak-hak dasar mereka, khususnya dalam pemanfaatan air permukaan maupun air tanah. Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya mengaku resah, karena kini kebutuhan dasar air untuk masyarakat justru terabaikan akibat kepentingan bisnis wisata.
“Air yang seharusnya jadi hak hidup masyarakat, kini seperti dirampas. Kami sering kesulitan mendapatkan air bersih, padahal pengusaha wisata di Cipanas bebas menggunakan air tanah dan air permukaan. Kami heran kenapa hukum diam saja,” ungkapnya dengan nada kecewa.(18/ 09/ 2025)
Hak Air Dijamin Undang-Undang
Dalam kerangka hukum Indonesia, hak masyarakat terhadap air sebenarnya sudah sangat jelas dan tegas diatur:
UUD 1945 Pasal 33 ayat (3):
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.”
➡️ Artinya, air bukan sekadar komoditas bisnis, melainkan hak dasar yang tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan usaha.
UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (sudah dibatalkan MK, namun prinsipnya diatur kembali dalam UU SDA 2019), kemudian digantikan oleh:
UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air
Pasal 6 ayat (1): Hak masyarakat untuk mendapatkan air guna memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dijamin oleh negara.
Pasal 7 ayat (2): Pemanfaatan air untuk usaha hanya dapat dilakukan setelah kebutuhan pokok masyarakat terpenuhi.
Pasal 50 ayat (1): Setiap orang atau badan usaha yang memanfaatkan air wajib memperoleh izin, dengan ketentuan tidak boleh mengganggu hak masyarakat.
PP No. 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber Daya Air (turunan UU lama, namun banyak substansi masih berlaku) menekankan bahwa izin pemanfaatan air tidak boleh mengurangi hak masyarakat, apalagi sampai menimbulkan krisis air bersih di sekitar kawasan usaha.
Kritik Masyarakat
Fenomena yang terjadi di Cipanas Garut saat ini menunjukkan adanya praktik yang dianggap “brutal” dalam eksploitasi air oleh para pengusaha wisata. Ironisnya, masyarakat justru menanggung dampak kekeringan dan penurunan akses air bersih.
“Seharusnya hukum tegas menindak. Kalau sesuai aturan, izin usaha air hanya bisa keluar setelah kebutuhan warga aman. Tapi kenyataannya, kami yang warga asli harus berebut dengan hotel-hotel dan kolam renang wisata,” ujar sumber yang tidak ingin disebut namanya.
Tuntutan dan Harapan
Masyarakat menilai pemerintah daerah, khususnya Dinas PUPR dan instansi lingkungan hidup, serta aparat penegak hukum, tidak boleh tutup mata. Jika tidak ada penertiban, maka konflik sosial dan bencana lingkungan akibat eksploitasi air berlebihan akan semakin besar.
“Air adalah hak hidup kami. Jangan biarkan Garut jadi ladang bisnis yang menyingkirkan rakyatnya sendiri,” tegas warga Tarogong Kaler tersebut. (Red)