
Garut,Medialibas.com – Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, menyerukan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman pergerakan tanah yang kerap melanda wilayah rawan bencana di Indonesia, termasuk Kabupaten Garut, Jawa Barat. Menurutnya, memahami jenis, penyebab, dan tanda-tanda awal pergerakan tanah sangat penting agar masyarakat tidak lengah dan dapat melakukan langkah pencegahan sejak dini.
“Pergerakan tanah itu beragam, ada yang lambat sampai hampir tidak terlihat, seperti rayapan tanah, dan ada juga yang sangat cepat seperti longsor atau runtuhan batu. Bahkan ada fenomena likuifaksi akibat gempa, di mana tanah berubah seperti cairan. Semua ini perlu kita pahami agar bisa waspada,” ujar Tedi Sutardi. Jum’at, (19/09/2025).
Ragam Jenis Pergerakan Tanah
Dalam penjelasannya, Tedi merinci jenis-jenis pergerakan tanah berdasarkan mekanisme dan karakteristiknya.
Rayapan (Creep) – Gerakan tanah sangat lambat, nyaris tidak terlihat, namun dalam jangka panjang bisa menyebabkan bangunan miring atau retak.
Longsor – Pergerakan massa tanah atau batuan yang berlangsung cepat, dengan beberapa tipe:
Translasi: Tanah bergerak di bidang gelincir datar atau landai.
Rotasi: Terjadi pada bidang gelincir melengkung atau cekung.
Aliran Bahan Rombakan (Flow): Massa tanah bercampur air bergerak cair, kerap terjadi di lembah atau kawasan gunung berapi.
Pergerakan Blok (Block Slide): Satu atau beberapa blok tanah/batuan bergeser pada bidang gelincir yang jelas.
Runtuhan Batu (Rock Fall): Batu-batu jatuh dari tebing atau lereng curam.
Likuifaksi (Liquefaction) – Tanah jenuh air berubah seperti cairan akibat gempa bumi, sehingga kehilangan daya dukung.
Ratahan Tanah (Subsidence/Spreading) , Penurunan atau pergerakan horizontal tanah yang terjadi perlahan namun terus menerus.
Faktor Penyebab yang Perlu Diwaspadai
Menurut Tedi Sutardi, ada sejumlah faktor utama yang memicu terjadinya pergerakan tanah, di antaranya:
Curah hujan tinggi yang membuat tanah jenuh air dan kehilangan kestabilannya.
Gempa bumi, yang dengan getarannya mampu mengguncang struktur tanah hingga rapuh.
Sifat tanah, seperti tanah liat yang menjadi lembek saat basah dan rawan longsor.
Struktur geologi, terutama batuan lapuk dan endapan vulkanik yang tidak stabil.
Aktivitas manusia, seperti pembangunan di lereng tanpa kajian teknis, penggundulan hutan, serta pembebanan berlebih pada tanah.
“Banyak bencana tanah bergerak yang sebenarnya bisa diminimalisir risikonya jika kita menjaga lingkungan. Hutan jangan ditebangi sembarangan, pembangunan harus memperhatikan kajian teknis, dan masyarakat perlu tahu tanda-tanda awal pergerakan tanah,” jelasnya.
Pentingnya Deteksi Dini dan Peran Masyarakat
Tedi Sutardi menekankan, masyarakat yang tinggal di lereng perbukitan, daerah aliran sungai, maupun tepi tebing harus memperhatikan gejala-gejala dini pergerakan tanah. Misalnya munculnya retakan di tanah atau dinding rumah, pohon-pohon yang tiba-tiba miring, hingga keluarnya mata air baru di lereng.
“Hal-hal kecil seperti itu jangan dianggap sepele, karena bisa menjadi peringatan awal sebelum terjadi longsor besar. Jika masyarakat sudah memahami tanda-tandanya, potensi korban jiwa bisa ditekan,” tegasnya.
Ajakan untuk Bersama-sama Mitigasi
Sebagai Ketua LIBAS, Tedi mengajak semua pihak, baik pemerintah, relawan, maupun masyarakat, untuk meningkatkan kesadaran dan aksi nyata dalam mitigasi bencana tanah bergerak. Menurutnya, mitigasi bukan hanya urusan pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama.
“Mitigasi harus jadi budaya, bukan sekadar kegiatan formalitas. Mari kita sama-sama menjaga lingkungan, memperkuat solidaritas, dan meningkatkan kewaspadaan. Dengan begitu, kita bisa meminimalisir risiko bencana tanah bergerak,” pungkas Tedi Sutardi. (A1)