
Garut,Medialibas.com – Kabupaten Garut, Jawa Barat dikenal luas sebagai daerah agraris dengan potensi agribisnis yang sangat menjanjikan. Dari jeruk Garut yang legendaris, domba Garut yang khas, hingga kopi yang mulai menembus pasar nasional bahkan internasional.
Namun, di balik deretan prestasi tersebut, tersimpan persoalan serius yang mengundang perhatian banyak pihak, terutama terkait pengembangan agribisnis yang kerap berbenturan dengan kawasan konservasi.
Salah satu suara kritis datang dari Asep Yadi, seorang aktivis sosial dan lingkungan yang selama ini aktif mengawal isu-isu tata ruang, agraria, hingga kelestarian alam di Garut. Baginya, pengembangan agribisnis tidak boleh dilakukan secara serampangan, apalagi sampai mengorbankan kawasan konservasi yang menjadi penyangga ekologi.
Regulasi Sudah Tegas, Tapi Penegakan Lemah
Asep mengingatkan, Kabupaten Garut sudah memiliki landasan hukum yang jelas melalui Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011–2031. Dalam aturan itu, kawasan lindung dan kawasan budidaya sudah dipetakan secara tegas, agar pembangunan berjalan seimbang dan tidak merusak daya dukung lingkungan.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda. Banyak terjadi alih fungsi lahan konservasi menjadi lahan pertanian intensif, bahkan dialihfungsikan menjadi pembangunan non-pertanian.
“Perda RTRW seharusnya menjadi pedoman utama. Tapi kalau hanya berhenti sebagai dokumen dan tidak ditegakkan, maka itu hanya hiasan birokrasi. Padahal, setiap pelanggaran tata ruang adalah pengkhianatan terhadap masa depan Garut,” tegas Asep Yadi.
Bencana Ekologis Bukan Takdir, Tapi Konsekuensi
Asep menyoroti bahwa Garut hampir setiap tahun dihantam bencana ekologis seperti banjir bandang dan longsor. Menurutnya, bencana itu bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba tanpa sebab, melainkan konsekuensi dari lemahnya tata kelola ruang.
“Banjir, longsor, hingga krisis air itu bukan musibah alam semata, tapi hasil dari kesalahan manusia yang memaksa alam bekerja di luar batasnya. Kawasan resapan air hilang, hutan dibabat, konservasi diganggu. Jadi jangan sebut lagi ini hanya takdir, karena faktanya ini akibat kelalaian dan keserakahan,” ujar Asep lantang.
Ambisi Pembangunan yang Harus Dikendalikan
Menurut Asep, konsep agropolitan yang digagas pemerintah sebenarnya merupakan langkah maju untuk mengembangkan wilayah pedesaan berbasis pertanian. Konsep ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas, membuka lapangan kerja, sekaligus memperkuat ketahanan pangan.
Namun, ia mengingatkan bahwa konsep ini bisa kehilangan arah bila tidak diimbangi dengan tata kelola ruang yang disiplin. Ambisi pembangunan, jika tidak dikendalikan, justru akan menggerus kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi.
“Agropolitan itu baik, tapi jangan sampai menjadi tameng untuk merusak hutan. Kita harus ingat, konservasi bukan penghalang pembangunan, justru penopang agar pembangunan bisa berkelanjutan,” ungkapnya.
Seruan Keras Kepada Pemerintah Garut
Sebagai aktivis sosial dan lingkungan, Asep Yadi menegaskan bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab penuh untuk menegakkan aturan dan melindungi ekosistem Garut. Ia menyerukan agar Pemerintah Kabupaten Garut tidak lagi bersikap kompromi terhadap pelanggaran tata ruang, meskipun itu melibatkan pihak-pihak yang memiliki kekuatan modal atau politik.
Ia menawarkan empat langkah penting yang harus segera dilakukan:
Penegakan hukum tanpa pandang bulu terhadap pihak yang mengalihfungsikan kawasan konservasi.
Edukasi langsung kepada masyarakat desa, agar mereka memahami pentingnya menjaga hutan dan resapan air.
Penerapan teknologi ramah lingkungan dalam pertanian, sehingga produktivitas tetap tinggi tanpa merusak lingkungan.
Kolaborasi multipihak, melibatkan akademisi, aktivis lingkungan, pengusaha, dan masyarakat sipil dalam menyusun kebijakan agribisnis.
Harapan yang Menjadi Peringatan
Asep Yadi menutup pernyataannya dengan harapan sekaligus peringatan keras kepada pemerintah Garut.
“Kalau pemerintah serius, Garut bisa jadi daerah agribisnis unggulan yang tetap lestari. Tapi kalau hanya mengejar angka pertumbuhan ekonomi tanpa menjaga lingkungan, maka yang diwariskan kepada generasi mendatang hanyalah tanah rusak, sungai tercemar, dan hutan gundul. Alam bisa memberi, tapi juga bisa menagih dengan cara yang paling kejam,” pungkasnya.
Dengan suara lantang itu, Asep berharap pemerintah Garut tidak sekadar menaruh perhatian di atas kertas, melainkan berani bertindak nyata. Sebab, bagi aktivis seperti dirinya, masa depan Garut hanya bisa dijaga dengan keseimbangan antara ambisi pembangunan dan kewajiban melestarikan ekologi. (AA)