
Garut Medialibas.Com— Program Perhutanan Sosial (PPS) di Indonesia seharusnya menjadi instrumen keadilan ekologis. Namun, fakta di lapangan justru memperlihatkan adanya penyimpangan oleh korporasi yang berlindung di balik izin. Salah satunya, PT pji (Nanglak Jaya), pemegang izin pemanfaatan kawasan lebih dari lima skema PPS, kini diduga bermain-main dengan aturan yang jelas.
“Kalau PT pji tidak menyusun Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS), Rencana Kerja Tahunan (RKT), serta dokumen lingkungan sesuai aturan, maka itu bukan lagi kelalaian, tapi pelanggaran serius. Hukum wajib turun tangan!” tegas Tedi Suhardi, Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Jumat (25/9/2025).
Aturan Hukum Sudah Sangat Jelas
Permen LHK No. 9/2021 mewajibkan penyusunan RKPS dan RKT, berikut laporan tahunan.
Permen Kehutanan No. 83/2016 & No. 89/2014 jadi dasar program PPS dan pengelolaan hutan desa.
Dokumen lingkungan yang harus ada: AMDAL, UKL-UPL, PIAPS.
Tanpa itu semua, aktivitas pemanfaatan kawasan ilegal dan cacat hukum.
Risiko Hukum Menghantui PT Ai
Sanksi Administratif: teguran, penghentian, pencabutan izin.
Sanksi Perdata: ganti rugi kerusakan lingkungan.
Sanksi Pidana: penjara dan denda miliaran rupiah sesuai UU No. 32/2009 tentang PPLH dan UU Kehutanan.
“Pemerintah jangan tutup mata. Kalau ini dibiarkan, PPS berubah jadi panggung eksploitasi liar. Rakyat hanya jadi penonton sementara alam dibabat demi keuntungan segelintir orang,” ujar Tedi dengan nada keras.
Program Mulia Jangan Jadi Celah Kriminal
PPS sejatinya dirancang untuk membuka akses kelola hutan bagi masyarakat desa sekitar kawasan, agar hutan lestari dan ekonomi rakyat terangkat. Namun, bila PT pji (Nanglak Jaya) menolak tunduk pada aturan, maka perhutanan sosial berubah jadi kamuflase korporasi untuk mengeruk kekayaan hutan.
“LIBAS akan terus mendesak penegakan hukum. Kami siap turun ke jalan bila pemerintah pusat dan daerah tak berani bertindak. Jangan tunggu bencana ekologis datang baru sibuk menyalahkan rakyat!” tutup Tedi Sutardi. (Red)