
Cimahi,Medialibas.com – Saat ini Kota Cimahi tengah menghadapi sorotan publik terkait maraknya pembangunan menara telekomunikasi. Fenomena ini di satu sisi menunjukkan adanya peningkatan kebutuhan infrastruktur komunikasi modern, namun di sisi lain menimbulkan keresahan karena kerap dibangun tanpa prosedur perizinan yang jelas.
Salah satu kasus menonjol terjadi di Komplek Veteran, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara. Sebuah menara telekomunikasi setinggi lebih dari 40 meter milik PT STP diduga didirikan di lahan rumah warga di alamat No. 54 RT 07/RW 06. Ironisnya, proyek tersebut dibangun tanpa izin resmi dari instansi terkait.
Izin Belum Terbit, Menara Sudah Berdiri
Hasil penelusuran di lapangan menunjukkan menara tersebut hampir rampung. Padahal, berdasarkan keterangan petugas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) yang ditemui di Mal Pelayanan Publik (MPP) Cimahi, izin pembangunan masih dalam tahap kajian Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR).
“Untuk perizinan pembangunan menara telekomunikasi di Komplek Veteran RT 07/RW 06, izin resminya belum keluar. Saat ini masih dalam proses kajian Dinas PUPR,” ujar salah seorang petugas. Sabtu, (27/09/202).
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pembangunan fisik bisa berjalan nyaris tuntas sementara administrasi izin masih dalam proses?
Dugaan Pembiaran Pemerintah
Koordinator LSM Kompas, Fajar Budhi Wibowo, menilai pemerintah daerah tidak tegas dalam mengawasi pembangunan tersebut. Ia menyebut praktik “bangun dulu, urus izin belakangan” sudah sering terjadi di Cimahi.
“Pemerintah seolah melakukan pembiaran. Padahal jelas ada aturan yang harus ditaati. Jika terus dibiarkan, ini bisa menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di bidang tata ruang,” tegas Fajar.
Menurutnya, pembangunan tanpa izin berpotensi melanggar administrasi, bahkan bisa masuk ranah pidana sesuai Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang.
Persetujuan Warga yang Dipertanyakan
Dari sisi lingkungan sekitar, Ketua RW 06 Kelurahan Cipageran menyebut masyarakat sudah memberikan persetujuan melalui tanda tangan. Namun, Ketua RT 07 hingga berita ini diturunkan tidak merespons permintaan konfirmasi wartawan.
Menariknya, beberapa warga justru mengaku tidak pernah dilibatkan dalam musyawarah. Mereka menolak keberadaan menara karena khawatir akan risiko keselamatan, terutama kemungkinan roboh mengingat lokasinya berada di tengah pemukiman padat.
“Kami menolak karena tidak ada undangan untuk musyawarah. Hanya orang-orang tertentu yang diajak dan menyatakan setuju. Padahal kami juga warga Komplek Veteran yang terdampak langsung,” ujar salah seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Ia menambahkan, pihaknya bersama beberapa warga lain berencana melayangkan surat resmi kepada Ketua DPRD Kota Cimahi untuk menyampaikan penolakan.
Potensi Ancaman Keselamatan
Secara teknis, menara telekomunikasi setinggi 40 meter lebih memiliki potensi bahaya jika tidak dibangun sesuai standar keamanan. Keberadaannya di tengah kawasan perumahan meningkatkan risiko jika terjadi cuaca ekstrem, bencana alam, atau kegagalan konstruksi.
“Bukan hanya soal izin, tapi juga soal keselamatan warga sekitar. Kalau sampai rubuh, siapa yang bertanggung jawab?,” tambah warga lainnya.
Tuntutan Transparansi dan Tegasnya Pengawasan
Kasus ini menegaskan adanya persoalan serius dalam tata kelola pembangunan infrastruktur di Cimahi. Ketidakjelasan proses perizinan dan lemahnya pengawasan membuka peluang bagi pengembang untuk mengabaikan aturan.
Warga berharap pemerintah daerah tidak hanya sekadar menunggu kajian administrasi, tetapi juga turun langsung melakukan penghentian sementara proyek yang belum berizin. Jika tidak, Cimahi akan terus dihantui praktik pembangunan ilegal yang berpotensi membahayakan masyarakat.
Pantauan terakhir di lokasi menunjukkan menara telekomunikasi di Komplek Veteran tersebut sudah hampir selesai. Sementara itu, izin resmi masih dalam proses panjang. Kondisi ini memperkuat dugaan bahwa pembangunan menara di Cimahi lebih sering mengikuti pola lama: pembangunan berjalan dulu, izin menyusul belakangan. (Red)