
Garut,Medialibas.com – Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), tengah menjadi sorotan tajam usai beredarnya surat edaran resmi yang mencantumkan nominal uang (rupiah) tanpa dasar hukum yang jelas. Langkah tersebut menuai kritik keras dari aktivis kebijakan publik Tedi Sutardi, yang menilai tindakan itu berpotensi melanggar hukum dan menyalahgunakan kewenangan jabatan.
Dalam pernyataannya kepada Medialibas.com, Minggu (05/10/2025), Tedi menyebut bahwa surat edaran bukanlah produk hukum yang memiliki kekuatan mengikat, apalagi untuk menetapkan pungutan atau nilai uang tertentu.
“Surat edaran hanya bersifat administratif internal. Jika di dalamnya ada nilai rupiah yang memaksa masyarakat atau lembaga untuk tunduk, itu sudah melampaui batas kewenangan. Bahkan bisa dikategorikan sebagai penyalahgunaan jabatan,” tegas Tedi.
Dasar Hukum yang Dilanggar
Menurut Tedi, tindakan tersebut berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum penting dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Ia mengurai beberapa pasal yang relevan:
UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 15 Tahun 2019 – Surat edaran tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan tidak boleh memuat norma hukum yang bersifat memaksa.
Pasal 23A UUD 1945 – Menegaskan bahwa setiap pungutan bersifat memaksa hanya dapat diatur dengan undang-undang.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan – Melarang pejabat menggunakan wewenang di luar tujuan pemberian wewenang.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 (Tipikor) – Pasal 3 menyebutkan, penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian negara merupakan tindak pidana korupsi.
UU No. 1 Tahun 2023 (KUHP Baru) – Pasal 596-597 menegaskan sanksi pidana bagi pejabat publik yang menyalahgunakan jabatan demi keuntungan pribadi atau pihak lain.
“Kalau surat edaran itu berdampak pada adanya aliran uang tanpa dasar hukum, aparat penegak hukum wajib turun tangan. Itu bisa masuk wilayah maladministrasi hingga tindak pidana korupsi jabatan,” jelas Tedi.
Potensi Penyalahgunaan Jabatan
Lebih jauh, Tedi menilai langkah Gubernur Jabar tersebut menunjukkan lemahnya pemahaman sebagian pejabat terhadap batas hukum administratif. Ia menegaskan, praktik seperti ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tapi berpotensi menjadi tindak pidana penyalahgunaan wewenang.
“Surat edaran yang dijadikan dasar pungutan dapat dianggap sebagai kebijakan yang menimbulkan kerugian negara. Jika ada uang mengalir tanpa dasar hukum, itu jelas pelanggaran serius,” ujarnya.
Tedi juga mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk segera melakukan audit hukum dan administrasi atas surat edaran tersebut.
“Tidak boleh ada pejabat, bahkan gubernur sekalipun, yang membuat aturan tanpa landasan hukum. Jabatan publik bukan lisensi untuk menafsirkan hukum sesuka hati,” tegasnya.
Sorotan terhadap Transparansi dan Akuntabilitas
Kasus ini, menurut Tedi, kembali menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menilai praktik penerbitan surat edaran bernilai rupiah merupakan bentuk penyimpangan yang berpotensi mencederai prinsip good governance.
“Jika ingin menetapkan pungutan, tempuh jalur hukum yang sah. Buat Peraturan Gubernur, Perda, atau dasar regulasi lain yang jelas. Jangan gunakan surat edaran sebagai alat politik atau transaksi administratif,” pungkas Tedi.
Pemprov Jabar Masih Bungkam
Hingga berita ini diterbitkan, Pemerintah Provinsi Jawa Barat belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan pelanggaran hukum dalam surat edaran tersebut. Upaya konfirmasi yang dilakukan redaksi Medialibas.com ke Biro Hukum dan Komunikasi Publik Pemprov Jabar belum mendapatkan respons.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik, terutama di kalangan akademisi dan pegiat antikorupsi, yang menilai bahwa tindakan administratif tanpa dasar hukum yang sah berpotensi menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di Indonesia. (A1)