Oleh: asep susun
11 Oktober 2025

Garut, Medialibas. Com Dalam tatanan pemerintahan yang berlandaskan hukum, setiap kebijakan publik harus berpijak pada konstitusi dan mengarah pada kesejahteraan rakyat. Namun di lapangan, sering kali kita menyaksikan penyimpangan dari prinsip ini — salah satunya melalui penggunaan surat edaran yang melampaui batas kewenangan. Surat edaran yang seharusnya menjadi instrumen administratif, kerap disalahgunakan menjadi “aturan bayangan” yang mengikat masyarakat dan bahkan mencantumkan nilai uang, tanpa dasar hukum yang sah.
- Hakikat Surat Edaran dalam Sistem Hukum
Surat edaran (SE) adalah produk administrasi yang bersifat internal, bukan normatif. Artinya, SE ditujukan untuk memberikan petunjuk pelaksanaan kepada aparatur di bawahnya, bukan untuk menimbulkan akibat hukum langsung bagi masyarakat.
Dasar hukumnya dapat dilacak dari prinsip umum hukum administrasi negara dan peraturan perundang-undangan, di antaranya:
Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang menegaskan bahwa setiap kebijakan yang mengatur masyarakat harus berupa peraturan perundang-undangan, bukan surat edaran.
Pasal 8 ayat (2) UU yang sama menyatakan bahwa peraturan di bawah undang-undang hanya sah jika dibuat berdasarkan kewenangan dan sesuai dengan hierarki hukum yang berlaku.
Dengan demikian, surat edaran tidak dapat mencantumkan nominal uang, memungut iuran, atau membebankan kewajiban kepada masyarakat, karena hal itu sudah memasuki ranah regulasi publik yang hanya boleh dilakukan oleh peraturan yang sah — seperti Perda, Perbup, atau Peraturan Menteri.
- Batasan Kewenangan Pejabat Pembuat Surat Edaran
Setiap pejabat publik dibatasi oleh prinsip legalitas (asas rechtmatigheid) — yaitu bahwa setiap tindakan pemerintah harus didasarkan pada hukum yang jelas. Pelanggaran atas asas ini dapat mengarah pada penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir).
Batasan hukum pejabat dalam membuat surat edaran antara lain:
Tidak boleh mengatur masyarakat secara langsung, kecuali menindaklanjuti peraturan yang lebih tinggi.
Tidak boleh menetapkan pungutan uang tanpa dasar APBD/APBN atau Peraturan Daerah.
Tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 33 dan 34, yang menegaskan bahwa negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat melalui pengelolaan ekonomi yang adil dan pengentasan kemiskinan.
Apabila surat edaran melampaui batas itu, maka pejabat pembuatnya berpotensi melanggar hukum administrasi dan bahkan pidana korupsi sebagaimana diatur dalam:
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila kebijakan tersebut menyebabkan kerugian keuangan negara atau masyarakat.
- Kebijakan Publik dan Tanggung Jawab terhadap Kesejahteraan Rakyat
UUD 1945 Pasal 33 dan 34 bukan sekadar kalimat normatif, tetapi janji konstitusional negara terhadap rakyat. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
Artinya, setiap kebijakan publik — sekecil apa pun — harus mengarah pada pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bukan menambah beban hidup mereka.
Ketika pejabat menggunakan surat edaran untuk menarik uang dari masyarakat miskin, maka tindakan itu bukan hanya maladministrasi, tetapi juga pengkhianatan terhadap mandat konstitusi. Negara seharusnya melindungi rakyat, bukan memungut dari rakyat dengan alasan administratif.
- Prinsip Keadilan dalam Kebijakan Publik
Setiap kebijakan publik harus diuji dengan asas keadilan sosial, sebagaimana sila ke-5 Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Dengan demikian, kebijakan apa pun yang membebani masyarakat tanpa manfaat langsung, apalagi tanpa dasar hukum, harus ditolak secara moral dan hukum.
Dalam konteks ini, tanggung jawab pejabat publik tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga etis dan konstitusional. Mereka wajib memastikan setiap keputusan yang dibuat tidak menggerus hak rakyat, melainkan memperkuat daya hidup masyarakat — terutama mereka yang berada di lapisan paling lemah ekonomi.
- Penegakan Hukum dan Reformasi Etika Birokrasi
Untuk mencegah penyalahgunaan surat edaran, langkah tegas harus diambil:
Pengawasan internal oleh Inspektorat dan Ombudsman atas setiap kebijakan administrasi yang berdampak pada publik.
Keterlibatan masyarakat dan media dalam mengkritisi kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Penegakan hukum administratif dan pidana terhadap pejabat yang menggunakan surat edaran di luar batas kewenangan.
Negara tidak boleh membiarkan hukum tunduk pada kepentingan birokrasi. Hukum harus berdiri tegak di atas prinsip “Salus populi suprema lex esto” — kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.
Penutup
Surat edaran bukan alat kekuasaan. Ia hanyalah sarana administratif untuk mengatur jalannya birokrasi. Ketika surat edaran digunakan untuk mengatur masyarakat dan membebani ekonomi rakyat, maka di situlah hukum dilanggar dan moral negara terpuruk, Dalam kerangka kebijakan publik yang sehat, setiap keputusan pemerintah harus lahir dari nurani konstitusi dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Sebab sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bernegara adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum.”
Bukan memperkaya segelintir pejabat dengan kedok kebijakan administratif. (AA)