
Garut – Medialibas.com
Pemerhati perlindungan anak dan perempuan, Ira Maryana, menyuarakan kekhawatiran mendalam terhadap rendahnya Rata-rata Lama Sekolah (RLS) di Kabupaten Garut yang hanya mencapai 7,84 tahun pada tahun 2023. Angka tersebut menempatkan Garut di peringkat ke-20 dari 27 daerah di Jawa Barat, jauh di bawah rata-rata provinsi yang mencapai 8,83 tahun.
Menurut Ira, angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret suram masa depan anak-anak, terutama anak perempuan di daerah pedesaan Garut yang masih rentan terhadap putus sekolah akibat faktor ekonomi dan budaya.
“Ini sinyal bahaya bagi kita semua. Ketika anak-anak, terutama perempuan, hanya menempuh pendidikan sampai tingkat SMP kelas satu, maka kita sedang menyiapkan generasi yang tertinggal dalam segala aspek—ekonomi, sosial, bahkan perlindungan diri,” tegas Ira Maryana dalam wawancara di Garut, Jumat (11/10/2025).
Ia menyoroti bahwa kemiskinan struktural dan minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan menjadi penyebab utama rendahnya RLS di Garut. Tak jarang, anak perempuan di beberapa kecamatan lebih diprioritaskan untuk membantu pekerjaan rumah atau menikah muda dibanding melanjutkan sekolah.
“Masih ada pandangan keliru bahwa perempuan tak perlu sekolah tinggi, cukup bisa masak dan mengurus rumah. Padahal, pendidikan adalah bentuk perlindungan paling dasar bagi anak perempuan dari kekerasan, pernikahan dini, dan kemiskinan turun-temurun,” lanjutnya dengan nada prihatin.
Ira juga menilai pemerintah daerah harus meningkatkan investasi pada sarana dan prasarana pendidikan, terutama di wilayah terpencil yang sulit dijangkau transportasi umum. Ia menekankan bahwa program “Wajib Belajar 12 Tahun” seharusnya tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan dengan kebijakan nyata yang menyentuh lapisan masyarakat paling bawah.
“Pendidikan harus gratis, mudah diakses, dan ramah bagi anak-anak perempuan. Pemerintah jangan hanya berbangga dengan angka provinsi yang naik, tapi menutup mata pada kabupaten yang tertinggal,” tegasnya.
Dalam konteks perlindungan anak, Ira memperingatkan bahwa rendahnya tingkat pendidikan juga berkorelasi dengan meningkatnya risiko eksploitasi anak, pernikahan usia dini, dan pekerja anak. Ia mengajak seluruh pihak—baik pemerintah, tokoh masyarakat, maupun lembaga swadaya—untuk bersatu membangun kesadaran bahwa pendidikan adalah hak, bukan pilihan.
“Jika Garut ingin bangkit, maka sekolah harus jadi tempat yang paling aman, paling menarik, dan paling dihargai. Tidak boleh ada lagi anak perempuan yang berhenti di tengah jalan karena kemiskinan atau budaya patriarki,” tutupnya dengan tegas(AA)