Oleh: Ikin Sodik 12 Oktober 2025

Garut, Medialibas.com
Kabupaten yang dulu disebut kabupaten konservasi, kini tinggal nama yang hampa. Di balik slogan hijau yang selalu diucapkan pejabat dan terpampang di baliho-baliho pemerintah, Garut tengah berdarah pelan-pelan. Hutan yang dulu menjadi paru-paru selatan Jawa Barat kini mengeluarkan napas terakhirnya—tersedak debu dari lahan-lahan yang dibongkar untuk kebun sayur, vila, dan tambak.
Data terakhir tahun 2024 menunjukkan kehilangan 47 hektar hutan alam—bukan angka kecil jika diukur dari kecepatan kematian pohon yang setiap hari ditebang dan dibakar. Dari total 76.000 hektar hutan lindung dan 5.000 hektar hutan produksi terbatas, hampir semuanya kini kritis. Artinya, akar-akar telah mati, tanah kehilangan daya cengkeram, dan air tak lagi tersimpan di perut bumi. Sungai meluap ketika hujan, mengering ketika kemarau. Inilah wajah Garut: hijau di papan nama, tandus di kenyataan.
Luka di Bawah Daun: Alih Fungsi yang Tak Terkendali
Dulu, hutan Garut dikenal sebagai benteng alami penahan banjir dan tanah longsor. Kini, benteng itu berlubang di setiap sisinya. Ribuan hektar hutan diubah menjadi lahan pertanian sayur dataran tinggi. Petani, yang didesak ekonomi, terpaksa menanam kentang di tanah curam tanpa konservasi. Pemerintah pun menutup mata, seolah tak ingin melihat pohon-pohon yang rebah menjadi saksi kehancuran kebijakan.
Alih fungsi lahan bukan hanya tindakan ekonomi, tapi kejahatan ekologis. Garut, yang seharusnya menjadi penyangga air bagi wilayah Citarum dan Cimanuk, kini justru menjadi sumber bencana. Setiap musim hujan, tanah longsor di Cilawu, Bayongbong, Cisurupan, dan Cikajang menjadi ritual tahunan. Rumah roboh, anak-anak mati tertimbun lumpur, dan pemerintah hanya menulis “bencana alam” dalam laporan. Padahal ini bencana buatan manusia, hasil rakus dan diam yang panjang.
Negeri Konservasi yang Kering Moral
Label “Kabupaten Konservasi” kini terdengar seperti ironi keji. Pemerintah daerah berbicara tentang penghijauan, tapi izinnya justru menebas akar kehidupan. Dinas kehutanan dan lingkungan hidup seakan kehilangan taring—tak mampu menahan arus modal dan kepentingan.
Di desa-desa pinggir hutan, masyarakat kecil berjuang sendirian. Mereka dituduh sebagai perambah, padahal yang merambah dengan alat berat dan surat izin justru orang-orang berjas. Mereka menanam pohon, tapi tak diberi hak atas tanah. Mereka menjaga hutan, tapi tak pernah diberi suara.
Apakah ini bentuk pembangunan? Atau pembiaran yang terstruktur?
Air Mengering, Hidup Menyusut
Kerusakan hutan Garut bukan sekadar soal pepohonan yang hilang. Ini adalah soal air yang mati, udara yang rusak, dan manusia yang kehilangan masa depan. Sungai-sungai yang dulu jernih kini berubah menjadi aliran coklat lumpur. Air bersih semakin sulit. Warga di wilayah selatan dan tengah Garut kini harus menggali tanah lebih dalam hanya untuk mendapatkan air.
Bencana ekologis ini bukan lagi ancaman—ia sudah terjadi. Ketika akar hutan tercerabut, seluruh sistem kehidupan ikut ambruk. Hewan kehilangan rumah, tanah kehilangan daya serap, dan manusia kehilangan harapan.
Keadilan untuk Alam yang Dikhianati
Jika negeri ini masih memiliki nurani hukum, maka kerusakan ekologis adalah tindak pidana. Pasal 69 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dengan jelas melarang setiap orang melakukan perusakan hutan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Tapi hukum di Garut seperti pohon yang ditebang—berbunyi keras saat tumbang, lalu diam setelahnya.
Pemerintah daerah wajib bertanggung jawab atas kehancuran ini. Tidak cukup dengan menanam seribu bibit di acara seremonial. Tidak cukup dengan baliho bertuliskan “Garut Hijau Berkelanjutan”. Yang dibutuhkan adalah revolusi moral dan kebijakan keras—moratorium izin alih fungsi, penegakan hukum terhadap perusak, serta rehabilitasi besar-besaran yang diawasi rakyat.
Penutup: Ketika Daun Terakhir Jatuh
Garut sedang menuju kehancuran ekologis yang nyata. Hutan bukan lagi pelindung, tapi korban. Alam tidak butuh manusia untuk hidup, tapi manusia tak akan pernah hidup tanpa alam.
Jika hari ini 47 hektar hilang, esok bisa seratus, dan lusa seluruh Garut bisa gersang. Ketika daun terakhir jatuh dari pohon terakhir di bumi Garut, mungkin baru saat itu kita sadar:
yang kita tebang bukan hanya hutan, tapi masa depan anak cucu sendiri, (AA)