
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Di pelosok selatan Kabupaten Garut, tepatnya di Kampung Bihbul, RT 01 RW 02, Desa Tanjungjaya, Kecamatan Pakenjeng,Kabupaten Garut, Jawa Barat seorang perempuan bernama Ibu Atik kini berjuang melawan penyakit di tengah kerasnya hidup. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan langkahnya sudah nyaris tak berdaya.
Namun yang lebih menyakitkan, bukan hanya rasa sakit di tubuhnya melainkan rasa diabaikan oleh pemimpin desanya sendiri.
Meski memiliki kartu BPJS Kesehatan, Ibu Atik tetap tak mampu berobat ke rumah sakit. Bukan karena layanan kesehatan menolak, melainkan karena tak ada uang sepeser pun untuk ongkos menuju fasilitas kesehatan.
“Pihak desa cuma datang menengok, itu pun sebatas melayat tanpa memberi solusi. Ibu Atik memang punya BPJS, tapi untuk ke rumah sakit saja beliau tidak punya biaya,” ungkap Aan Carlos, Ketua Pemuda Kampung Bihbul, kepada Medialibas.com pada. Senin, (20/10/2025).
Kartu BPJS Tak Bermakna Tanpa Uang Ongkos
Di desa terpencil seperti Tanjungjaya, realitas hidup begitu keras. Banyak warga seperti Ibu Atik yang terjebak dalam lingkar kemiskinan struktural, di mana mereka memiliki jaminan kesehatan di atas kertas, tapi tidak memiliki kemampuan nyata untuk mengaksesnya.
Sementara jarak menuju fasilitas kesehatan terdekat bisa mencapai puluhan kilometer, dengan medan jalan berbatu dan curam.
“Kalau mau ke puskesmas saja sudah susah, apalagi ke rumah sakit. Mobil sewaan mahal, bensin mahal, sementara makan sehari-hari saja sudah susah,” lanjut Aan.
Kondisi ini memperlihatkan betapa timpangnya perhatian pemerintah terhadap warga miskin di pelosok. Program bantuan dan slogan “kesehatan untuk semua” ternyata belum sepenuhnya menyentuh mereka yang paling membutuhkan.
Kepala Desa Dinilai Abai, Warga Mulai Geram
Menurut warga sekitar, kehadiran Kepala Desa Tanjungjaya hanya sebatas formalitas datang menengok, lalu pergi tanpa memberikan bantuan konkret.
“Kalau cuma datang lihat dan bilang sabar, semua orang juga bisa,” kata Aan dengan nada kecewa. “Yang dibutuhkan Ibu Atik bukan kata-kata, tapi tindakan nyata. Kalau tidak ada biaya dari pribadi kades, mestinya bisa gerakkan dana sosial desa, atau ajukan bantuan ke kecamatan. Tapi ini tidak ada apa-apa.”
Sikap acuh seperti ini, kata Aan, bukan hanya mencederai hati warga, tapi juga menunjukkan betapa lemahnya rasa empati dan tanggung jawab sosial dari aparatur desa yang seharusnya menjadi garda terdepan melindungi rakyat kecil.
Pemuda Bergerak Saat Pemerintah Diam
Melihat situasi tersebut, Aan bersama para pemuda kampung mengambil inisiatif sendiri. Mereka berencana menggalang donasi untuk membantu biaya pengobatan dan transportasi Ibu Atik.
“Kami sadar kami bukan pejabat, tapi kami manusia yang punya hati. Kalau kami diam, siapa lagi yang mau peduli? Pemerintah sudah terlalu sering menutup mata,” ucap Aan tegas.
Gerakan spontan para pemuda ini menjadi bukti bahwa solidaritas masyarakat masih lebih nyata daripada janji pejabat.
Potret Buram Kebijakan Sosial
Kasus Ibu Atik membuka mata bahwa persoalan kemiskinan dan kesehatan di Garut Selatan bukan sekadar soal minimnya anggaran, tapi soal prioritas dan empati yang hilang di tingkat kepemimpinan lokal.
Di sisi lain,Program BPJS itu seolah hanya menjadi kebanggaan administratif rakyat memiliki kartu, tetapi tidak memiliki akses.
Selama masih ada warga miskin yang terbaring sakit di rumah karena tak mampu berobat, sementara pemerintah desa hanya sebatas menengok tanpa solusi, maka kehadiran negara belum lebih dari formalitas.
Harapan Terakhir di Tangan Sesama
Kini, harapan Ibu Atik hanya bertumpu pada kepedulian masyarakat dan kemurahan hati para dermawan. Ia butuh uluran tangan, bukan belas kasihan sesaat.
“Kami mohon perhatian dari pemerintah kabupaten, dari pihak mana pun yang peduli. Ibu Atik butuh ditolong sebelum terlambat,” kata Aan menutup perbincangan.
Kisah ini bukan sekadar potret duka seorang warga, tetapi tamparan moral bagi mereka yang mengaku pemimpin rakyat. Di tengah janji-janji pembangunan dan kesejahteraan, masih ada rakyat kecil seperti Ibu Atik yang terbaring dalam kesunyian sakit, miskin, dan diabaikan. (AA)