![]()
Garut,Medialibas.com – Di banyak wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Barat dan Kalimantan, aroma uang dari perkebunan kelapa sawit seolah menjadi candu baru. Di balik janji kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, dan lapangan kerja, tersimpan kisah kehilangan yang jarang diungkap: hutan-hutan yang berubah menjadi hamparan tanah gersang dan rawa tak bernyawa.
Ketika pembukaan lahan seluas 1.000 hektare dilakukan untuk perkebunan sawit, masyarakat mungkin melihat geliat ekonomi di awal. Truk-truk kayu melintas, pekerja lokal disibukkan dengan aktivitas penebangan, dan investor berbicara tentang masa depan ekonomi hijau.
Namun di balik itu semua, ada perhitungan yang tak seimbang antara keuntungan sesaat dan kerugian jangka panjang yang akan diwariskan pada generasi mendatang.
Janji Manis Keuntungan dari Hutan yang Gundul
Dari sisi ekonomi, proyek pembukaan lahan sawit memang tampak menjanjikan. Menurut data simulasi ekonomi lingkungan, dalam satu siklus 10 tahun, total pendapatan bisa mencapai Rp280 miliar.
Rinciannya, Rp50 miliar diperoleh dari penjualan kayu hasil penebangan, Rp200 miliar dari hasil kebun sawit selama sepuluh tahun, Rp20 miliar dari perputaran kerja masyarakat lokal, dan Rp10 miliar dari pembangunan infrastruktur seperti jalan serta jembatan.
Angka-angka ini kerap dijadikan dasar legitimasi oleh pihak tertentu yang mengklaim bahwa kegiatan perkebunan mampu meningkatkan taraf hidup warga sekitar. Tetapi angka keuntungan itu hanya tampak indah di atas kertas.
Sebab sesungguhnya, di balik Rp280 miliar itu, tersimpan kerugian ekologis lebih dari Rp310 miliar bahkan sebelum perhitungan biaya pemulihan dimasukkan.
Hilangnya Hutan, Hilangnya Kehidupan
Hutan bukan hanya kumpulan pohon yang bisa ditebang sesuka hati. Ia adalah sistem kehidupan yang saling terkait: menyerap karbon, menjaga sumber air, melindungi keanekaragaman hayati, dan menjadi benteng bagi bencana alam. Ketika 1.000 hektare hutan ditebang, jasa lingkungan senilai Rp100 miliar langsung hilang dari udara bersih, sumber air alami, hingga tempat hidup flora dan fauna.
Belum lagi dampak bencana yang mengintai: banjir dan tanah longsor diperkirakan menimbulkan kerugian sekitar Rp80 miliar setiap tahun. Sementara itu, emisi karbon dari pembakaran dan pembusukan lahan mencapai nilai kerugian sekitar Rp60 miliar, yang ikut menyumbang pada perubahan iklim global.
Dari sisi kesehatan masyarakat, kabut asap dan polusi menyebabkan biaya medis melonjak hingga Rp40 miliar, sedangkan potensi ekowisata yang hilang ditaksir mencapai Rp30 miliar.
Jika dijumlahkan, total kerugian ekologis mencapai Rp310 miliar melebihi nilai ekonomi yang dihasilkan dari pembukaan lahan sawit itu sendiri.
Pemulihan yang Tak Pernah Murah
Setelah hutan rusak, tidak mudah memulihkannya. Butuh waktu puluhan tahun dan biaya yang tidak sedikit. Untuk program rehabilitasi 1.000 hektare lahan hutan, dibutuhkan dana sekitar Rp130 miliar, meliputi:
Reboisasi dan penanaman kembali pohon: Rp50 miliar
Pemeliharaan selama lima tahun: Rp30 miliar
Edukasi dan pelibatan masyarakat: Rp10 miliar
Restorasi keanekaragaman hayati: Rp40 miliar
Namun dalam praktiknya, tidak semua program pemulihan berjalan efektif. Banyak proyek rehabilitasi hutan berakhir di tumpukan laporan tanpa hasil nyata. Sementara itu, alam terus menagih utang dari kerusakan yang ditimbulkan manusia.
Neraca Ekonomi-Ekologis: Negara Rugi Rp160 Miliar
Jika semua komponen dihitung dari keuntungan hingga biaya kerugian dan pemulihan, maka neraca ekonomi-ekologis justru menunjukkan angka negatif besar.
Aspek
Nilai (miliar IDR)
Keuntungan Jangka Pendek
+280
Kerugian Lingkungan
-310
Biaya Pemulihan
-130
Total Neraca Bersih
-160
Artinya, setiap hektare hutan yang ditebang untuk sawit justru meninggalkan utang ekologis sebesar Rp160 juta per hektare. Negara dan masyarakatlah yang akhirnya menanggung beban itu bukan korporasi yang telah mengantongi keuntungan di awal.
Suara dari Lapangan: Antara Pekerjaan dan Kesadaran
“Waktu itu banyak warga senang karena ada pekerjaan baru. Tapi setelah hutan habis, air sumur mulai kering, dan hujan sedikit saja sudah banjir,” kata Asep (43), warga salah satu desa di kawasan yang lahannya berubah menjadi kebun sawit.
Fenomena ini menggambarkan dilema klasik: antara kebutuhan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan lingkungan jangka panjang. Tanpa kebijakan tegas dari pemerintah dan kesadaran kolektif masyarakat, siklus perusakan hutan akan terus berulang.
Kesimpulan: Ketika Uang Tidak Bisa Menumbuhkan Pohon
Perusakan hutan demi perkebunan sawit memang memberi keuntungan cepat, tapi kerugian ekologis dan sosialnya jauh lebih mahal. Dalam jangka panjang, bangsa ini tidak hanya kehilangan hutan tapi juga kehilangan kendali atas masa depan lingkungan dan kehidupan generasi penerus.
Karena pada akhirnya, uang bisa menghitung batang kayu yang ditebang, namun tak akan pernah mampu menebus satu pohon yang hilang dari bumi. (AA)
