![]()
Garut,Medialibas.com – Ada masa ketika aroma segar jeruk memenuhi udara Garut bagian selatan. Pohon-pohon rimbun di kaki Gunung Galunggung itu bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga kebanggaan. Jeruk Keprok Garut dikenal ke seluruh penjuru negeri karena rasa manisnya yang khas, kulitnya yang jingga cerah, dan nama Garut yang tersemat di setiap buahnya.
Namun, sejarah tak selalu manis. Musibah alam dan penyakit mematikan sempat menenggelamkan kejayaan itu hingga tersisa kenangan pahit di hati petani.
Musibah yang Mengguncang Kehidupan Petani
Awal 1980-an menjadi babak kelam bagi perkebunan jeruk Garut. Letusan Gunung Galunggung tahun 1982 bukan hanya mengguncang tanah, tapi juga menghancurkan tatanan ekonomi rakyat. Ribuan hektare lahan tertimbun abu vulkanik, rumah-rumah petani roboh, dan ratusan ribu pohon jeruk mati perlahan.
Bertahun-tahun lamanya, tanah subur itu berubah tandus, dan masyarakat kehilangan sumber penghasilan utama.
“Dulu, satu keluarga bisa hidup layak hanya dari kebun jeruk. Tapi setelah letusan Galunggung, semua hilang. Kami seperti mulai dari nol lagi,” kenang Asep Rohmat (63), seorang petani tua dari Kecamatan Wanaraja, Garut.
Belum sempat bangkit dari bencana itu, datang lagi pukulan berikutnya penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD), yang menghancurkan harapan para petani di seluruh Garut. Penyakit ini menyerang pembuluh tanaman jeruk, membuat daunnya menguning, buahnya kecil, dan akhirnya pohon mati perlahan.
Dalam waktu kurang dari satu dekade, populasi jeruk Garut menyusut drastis. Tahun 1992 menjadi masa suram, ketika kebun-kebun berubah menjadi ladang gersang tanpa buah.
Pengakuan Pemerintah: Harapan yang Mulai Menyala
Meski terpuruk, jeruk Garut tak benar-benar punah. Di balik penderitaan petani, pemerintah mulai menyadari pentingnya melindungi varietas lokal yang unik ini.
Melalui SK Menteri Pertanian No. 760/KPTS.240/6/99 tanggal 22 Juni 1999, Jeruk Keprok Garut resmi ditetapkan sebagai varietas unggul nasional.
Pengakuan ini menjadi simbol kebangkitan bukan hanya bagi petani, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Garut.
“Jeruk Keprok Garut ini punya nilai historis dan ekonomis yang luar biasa. Cita rasanya khas, kulitnya mudah dikupas, dan daya simpannya tinggi. Itu sebabnya pemerintah memutuskan untuk melindunginya,” ujar Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Garut, saat ditemui Medialibas.com di ruang kerjanya.
Pengakuan tersebut disambut haru oleh para petani yang masih setia menanam jeruk. Mereka mulai melakukan peremajaan kebun, menanam bibit baru, dan mempelajari teknologi budidaya modern yang diperkenalkan oleh penyuluh pertanian.
Kebangkitan Perlahan: Teknologi, Kolaborasi, dan Harapan
Kini, setelah lebih dari dua dekade berlalu, tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat. Pemerintah daerah bersama kelompok tani dan lembaga riset pertanian mulai menggulirkan program revitalisasi jeruk Garut di sejumlah kecamatan, seperti Wanaraja, Cilawu, dan Bayongbong.
Program ini melibatkan berbagai pihak: dari Dinas Pertanian yang menyiapkan bibit unggul tahan CVPD, hingga kelompok tani yang menerapkan pola tanam berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Bibit baru hasil rekayasa genetik diklaim lebih tahan terhadap penyakit, sementara pola tanam organik membantu menjaga keseimbangan ekosistem kebun.
Tak hanya itu, sejumlah akademisi dari universitas di Jawa Barat juga ikut meneliti karakteristik tanah dan iklim untuk menemukan formula terbaik agar jeruk Garut bisa tumbuh optimal di masa kini.
“Dulu kami hanya mengandalkan pengalaman. Sekarang kami belajar soal pH tanah, irigasi tetes, dan pemupukan berimbang. Banyak hal baru yang membuat kami lebih siap menghadapi perubahan,” kata Dadan (45), petani muda dari Desa Sukalaksana, Samarang.
Ancaman yang Masih Mengintai
Meski geliat kebangkitan mulai terasa, perjuangan belum selesai. Perubahan iklim global menghadirkan ancaman baru berupa curah hujan tak menentu, suhu ekstrem, dan munculnya hama generasi baru.
Belum lagi, minat generasi muda terhadap pertanian kian menurun. Banyak anak petani yang memilih bekerja di pabrik atau merantau ke kota, meninggalkan lahan yang dulu menjadi kebanggaan keluarga.
Kondisi ini membuat regenerasi petani jeruk terancam. Tanpa dukungan dan insentif yang jelas, jeruk Garut bisa kembali kehilangan masa depannya.
Menjaga Martabat dari Ladang yang Pernah Tandus
Lebih dari sekadar buah, jeruk Garut adalah identitas dan martabat daerah. Ia mewakili ketekunan petani yang menolak menyerah meski dihantam bencana dan penyakit.
Pemerintah daerah kini tengah menyiapkan sejumlah langkah strategis, seperti perlindungan lahan pertanian produktif, pengembangan riset genetik, serta pemberian insentif bagi petani muda agar tetap tertarik menanam jeruk. Tak kalah penting, perlu adanya branding dan promosi untuk mengembalikan kejayaan Jeruk Garut di pasar nasional bahkan internasional.
“Kalau semua pihak mau peduli, saya yakin Jeruk Garut bisa bangkit lagi. Bukan hanya dikenal di Jawa Barat, tapi juga jadi kebanggaan Indonesia,” ujar Eldy Supriadi, tokoh masyarakat Garut yang aktif dalam berbagai gerakan ekonomi rakyat.
Dari Luka Menjadi Legenda
Kini, di antara perbukitan yang dulu tandus, bibit-bibit jeruk baru mulai tumbuh lagi. Daun-daun muda bermunculan, menandakan harapan baru bagi ribuan petani yang dulu kehilangan segalanya.
Dari abu Galunggung dan luka CVPD, Jeruk Garut belajar untuk bertahan.
Kisah ini bukan sekadar tentang buah, melainkan tentang semangat hidup rakyat Garut yang tak pernah padam.
Jeruk Garut kini berjuang bukan hanya untuk kembali manis di lidah, tetapi juga untuk kembali harum di hati rakyatnya.
Dari tandus, lahir harapan. Dari luka, tumbuh kekuatan. Jeruk Garut bangkit lagi sebagai simbol keteguhan dan cinta terhadap tanah sendiri. (AA)
