![]()
Oleh: Marwan (Pemerhati Lingkungan Garut)

Garut, Medialibas.com — Lereng-lereng gunung di Kabupaten Garut kini tak lagi kokoh seperti dulu. Curah hujan yang tinggi mengguyur tanpa henti, sementara daya tampung alam semakin lemah akibat pemanfaatan kawasan yang tak sesuai dengan peruntukannya. Dalam beberapa pekan terakhir, sedikitnya 13 titik longsor tercatat di berbagai wilayah Garut. Dari Cikajang hingga Cisurupan, dari Banjarwangi hingga Pamulihan—tanah seakan menolak untuk diam.
Fenomena ini bukan sekadar “bencana alam”. Ia adalah akumulasi dari kesalahan manusia yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Lereng yang seharusnya ditanami pohon ditambang, sempadan sungai dijadikan lahan pemukiman, dan hutan lindung dipangkas untuk perluasan kebun serta bangunan. (13/11/2025)
Dasar Hukum dan Kewajiban Pemerintah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan pada Pasal 65 ayat (1) bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.”
Namun hak itu kini terkikis. Pemerintah daerah memiliki kewajiban hukum berdasarkan Pasal 63 ayat (2) UU yang sama untuk:
- Menyusun dan melaksanakan kebijakan lingkungan hidup sesuai dengan karakteristik daerah.
- Menjamin terlaksananya penataan ruang yang berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan.
- Melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran tata guna lahan.
Sayangnya, banyak daerah di Garut yang sudah mengalami over-eksploitasi ruang. Penataan kawasan tidak lagi berpijak pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 37 UU tersebut menegaskan bahwa perubahan fungsi ruang tanpa izin adalah pelanggaran yang dapat dikenakan sanksi administratif hingga pidana.
Lereng dan Hujan: Kombinasi Mematikan
Garut memiliki topografi yang didominasi oleh lereng dan dataran tinggi vulkanik. Secara alami, daerah ini memiliki kerentanan terhadap gerakan tanah dan longsor. Namun ketika hutan di kawasan hulu seperti Papandayan, Cikuray, dan Guntur mulai tergerus alih fungsi lahan, daya serap air tanah menurun drastis. Air hujan yang seharusnya tersimpan di akar pepohonan kini langsung mengalir deras, menghantam tebing dan permukiman di bawahnya.
Data Badan Geologi menunjukkan bahwa wilayah Garut termasuk dalam zona merah potensi longsor tinggi. Kombinasi antara curah hujan ekstrem dan hilangnya vegetasi mempercepat proses soil creep — pergerakan lambatnya tanah yang akhirnyaa menimbulkan longsor besar.
Pendidikan dan Evaluasi: Jalan Menuju Pemulihan
Dari 13 titik longsor yang tercatat, setiap jengkal tanah yang turun seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat.
Langkah evaluatif yang diperlukan meliputi:
- Audit tata ruang daerah, terutama terhadap izin pemanfaatan lahan di lereng curam.
- Rehabilitasi kawasan hutan lindung melalui penanaman kembali spesies lokal dengan akar kuat.
- Edukasi masyarakat agar memahami pentingnya konservasi tanah dan air.
- Penegakan hukum lingkungan, tanpa pandang bulu, terhadap pelaku perusakan kawasan.
Selain UU PPLH dan UU Penataan Ruang, dasar hukum lain yang mengikat adalah Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRW Nasional, serta PP Nomor 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mewajibkan pemulihan ekosistem DAS yang rusak.
Penutup: Seruan dari Lereng Garut
Tanah Garut sedang berbicara, bahkan menjerit. Longsor demi longsor adalah bahasa alam yang meminta pertanggungjawaban moral dan hukum manusia.
Sebagai pemerhati lingkungan, saya menyerukan agar pemerintah daerah Garut tidak lagi menunggu bencana berikutnya untuk bertindak. Evaluasi tata ruang harus segera dilakukan, dan setiap izin pemanfaatan kawasan harus dikaji ulang berdasarkan daya dukung ekologisnya.
Karena bencana bukanlah kutukan langit, melainkan akibat dari keserakahan manusia di bumi.
Dan bila lereng terus runtuh, maka yang akan hilang bukan hanya tanah—melainkan masa depan Garut itu sendiri. (AA)
