![]()

Garut, Medialibas.com,— Kecamatan Pasirwangi, wilayah pegunungan yang seharusnya menjadi benteng ekologis Kabupaten Garut, ( 19 Desember 2025 )kini justru berdiri di atas bom waktu bencana. Di balik angka-angka manis Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029, tersimpan kenyataan pahit: lereng dibuka, hutan ditekan, dan rakyat dipaksa hidup di atas tanah yang tak lagi aman.
Dengan luas wilayah 5.480 hektar dan ketinggian mencapai 2.580 mdpl, Pasirwangi bukan kawasan biasa. Ia adalah wilayah rawan secara geologi, bertanah vulkanik muda, subur namun rapuh. Namun logika alam itu tampaknya diabaikan oleh logika pembangunan.

Tata Ruang yang Melawan Alam
Data penggunaan lahan menunjukkan ketimpangan serius. Tegalan dan pertanian lahan kering menguasai hampir 45 persen wilayah, sementara kawasan hutan hanya tersisa 28 persen. Padahal, dalam logika ekologis wilayah lereng pegunungan, kawasan lindung seharusnya minimal 40 persen.
Artinya sederhana: Pasirwangi sedang dipaksa bekerja melebihi daya dukungnya.
Lebih mengkhawatirkan, sebagian besar lahan pertanian dan permukiman berdiri di atas lereng curam di atas 15 hingga 30 persen. Tanah Andosol yang dikenal subur itu berubah menjadi ancaman ketika vegetasi penahan hilang. Hujan deras tak lagi diserap, tetapi meluncur deras membawa tanah, batu, dan rumah-rumah rakyat.
Bencana yang Dibiarkan Datang
Perhitungan sederhana menunjukkan, lebih dari 1.400 hektar tegalan berada di zona risiko tinggi erosi dan longsor. Tak kurang dari 137 hektar permukiman diperkirakan berdiri di area rawan bencana. Ini bukan prediksi mistis—ini kalkulus dasar tata ruang.
Namun dalam dokumen perencanaan, angka-angka itu sering disamarkan menjadi grafik, tabel, dan bahasa normatif. Ketika longsor terjadi, baru semua terkejut—padahal bencananya dirancang sejak awal.
RPJMD atau Rencana Pemiskinan Jangka Menengah?
Pembangunan yang meminggirkan aspek ekologis bukan hanya melahirkan bencana alam, tetapi juga bencana sosial. Sawah kekurangan air karena hutan hulu rusak. Jalan desa putus karena tanah bergerak. Rakyat menanggung risiko, sementara kebijakan terus berjalan.
Ironisnya, jika kawasan hutan Pasirwangi berkurang hanya 10 persen saja, maka lebih dari 155 hektar fungsi lindung akan hilang. Dampaknya berantai: banjir bandang, sedimentasi sungai, dan kekeringan di wilayah hilir.
Ini bukan sekadar kesalahan teknis. Ini adalah kelalaian struktural.
Negara Hadir atau Menunggu Korban?
RPJMD seharusnya menjadi alat koreksi, bukan alat pembenaran. Tanpa moratorium pembukaan lahan di lereng curam, tanpa rehabilitasi hutan secara serius, dan tanpa audit permukiman rawan bencana, RPJMD Pasirwangi hanya akan menjadi dokumen resmi yang mengantarkan rakyat ke jurang risiko.
Alam tidak bisa dinegosiasikan. Lereng tidak bisa diajak kompromi. Dan hujan tidak pernah membaca dokumen perencanaan.
Jika Pemerintah Kabupaten Garut terus menutup mata, maka Pasirwangi tidak sedang menuju pembangunan—ia sedang menunggu giliran runtuh. (Red)
