Oleh: Perkumpulan Lingkungan Anaka Bangsa ( LIBAS )

Garut, MediaLibas.com – Di balik keindahan alam Garut yang tersohor dengan gunung, sungai, dan hamparan tanah subur, tersembunyi luka yang dalam akibat aktivitas galian C ilegal. Puluhan titik galian pasir dan bebatuan aktif menggali perut bumi Garut, namun berdasarkan data yang sah , hanya satu di antaranya yang memiliki izin resmi. Sisanya? Beroperasi tanpa izin—melanggar hukum dan merusak lingkungan hidup.
Apa Itu Galian C?
Galian C merujuk pada kegiatan penambangan bahan galian golongan C sesuai klasifikasi lama, yang kini masuk ke dalam kategori mineral bukan logam dan batuan berdasarkan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). (19/6/2025)
Landasan Hukum dan Pelanggaran
Menurut Pasal 35 UU No. 3 Tahun 2020, kegiatan usaha pertambangan hanya dapat dilakukan dengan izin resmi dalam bentuk:
- Izin Usaha Pertambangan (IUP),
- Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau
- Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Siapa pun yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 158 UU Minerba, yang berbunyi:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IUPK, atau IPR dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Artinya, seluruh kegiatan galian C di Garut yang tidak memiliki izin resmi masuk dalam kategori tindak pidana pertambangan.
Dampak Lingkungan yang Parah
Kerusakan yang ditimbulkan oleh galian ilegal ini tidak hanya berupa tanah bolong-bolong atau sungai yang keruh, tapi juga:
- Erosi dan longsor di daerah perbukitan,
- Pendangkalan sungai akibat sedimentasi pasir dan batu,
- Rusaknya ekosistem air dan habitat makhluk hidup,
- Jalan rusak akibat kendaraan tambang berat,
- Ancaman terhadap sumber air bersih bagi masyarakat sekitar.
Hal ini jelas melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf a UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang menyatakan:
“Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
Sanksinya tertuang dalam Pasal 98 UU PPLH:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu lingkungan hidup… diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun serta denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.”
Kerugian Negara dan Rakyat
Aktivitas galian ilegal tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merugikan negara dan rakyat, antara lain:
- Negara kehilangan potensi pajak dan retribusi tambang,
- Pemerintah daerah menanggung biaya pemulihan lingkungan,
- Masyarakat kehilangan lahan produktif dan sumber penghidupan.
Padahal, jika dikelola secara legal dan ramah lingkungan, sektor ini bisa menjadi sumber PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang besar dan berkelanjutan.
Mengapa Dibiarkan?
Jika hanya satu yang legal, mengapa puluhan lainnya dibiarkan beroperasi? Apakah karena lemahnya pengawasan? Atau adanya pembiaran oleh oknum aparat dan pejabat?
Pembiaran ini bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Namun yang terjadi, kekayaan alam Garut justru dikeruk untuk sebesar-besarnya keuntungan segelintir pihak, bukan untuk rakyat.
Penutup
Garut tak boleh jadi korban kerakusan. Tambang tanpa izin adalah kejahatan terhadap hukum dan lingkungan. Pemkab Garut, aparat penegak hukum, dan masyarakat harus bersatu:
- Menutup semua tambang ilegal,
- Menindak tegas pelakunya,
- Mengembalikan fungsi lingkungan yang rusak.
Hukum bukan hanya ditulis—ia harus ditegakkan.
Dan alam Garut harus diselamatkan, sebelum semuanya terlambat. ( AA)
Redaksi LIBAS
Perkumpilan Lingkungan Anak Bangsa