Oleh: Tedi Sutardi

GARUT,Medialibas.com — Kabupaten Garut, yang dikenal sebagai “Benteng Konservasi Jawa Barat,” kini justru menjadi saksi bisu dari pelanggaran hak asasi manusia akibat kerusakan lingkungan hidup yang sistematis dan terus berlangsung. Hutan lindung dibabat, kawasan konservasi dijarah, aliran sungai tercemar, dan masyarakat adat serta petani kecil terpinggirkan. Di balik nama harum Garut sebagai kawasan perlindungan alam, tersembunyi luka ekologis yang kian menganga dan mengancam hak-hak dasar warga.
Lingkungan Sehat adalah Hak Asasi, Bukan Pilihan
Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian pula Pasal 65 UU Nomor 32 Tahun 2009 menyebutkan bahwa masyarakat memiliki hak atas lingkungan hidup yang sehat dan berkelanjutan. Di Garut, hak ini telah lama dirampas secara perlahan, namun pasti.
Gunung Guntur, yang merupakan bagian dari Cagar Alam Kamojang, menjadi salah satu simbol ironi. Kawasan yang seharusnya steril dari aktivitas ekstraktif justru dipenuhi aktivitas penambangan ilegal pasir dan batu (Galian C). Hutan di kawasan Gunung Papandayan hingga Gunung Cikuray terus mengalami degradasi, sementara semak belukar dan kebun kopi rakyat digusur demi proyek energi dan infrastruktur yang mengabaikan keberlanjutan. (22/6/2025)
Negara Lalai, Rakyat Menanggung Akibat
Pelanggaran terhadap lingkungan di Garut bukan semata masalah teknis, melainkan bentuk nyata dari kelalaian negara dalam memenuhi kewajiban HAM-nya. Negara, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah, memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas lingkungan hidup yang sehat. Namun kenyataannya:
- RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Garut sering dijadikan alat legitimasi untuk menyulap kawasan konservasi menjadi wilayah eksploitasi.
- Penegakan hukum terhadap penambangan ilegal nyaris tidak berjalan, bahkan sering ditengarai adanya “backing” dari oknum pejabat dan aparat.
- Masyarakat lokal yang menolak kerusakan lingkungan justru dikriminalisasi dan diintimidasi.
Dari Pencemaran hingga Bencana: Akibat dari Hilangnya Hak Lingkungan
Kerusakan lingkungan di Garut bukan hanya berdampak ekologis, tetapi juga menghantam langsung hak-hak dasar warga, seperti:
- Hak atas kesehatan, akibat air yang tercemar logam berat dari tambang.
- Hak atas pangan, karena lahan pertanian rusak akibat sedimentasi dan alih fungsi lahan.
- Hak atas air, karena sumber mata air di pegunungan kian mengering atau tercemar.
- Hak atas rasa aman, karena bencana longsor dan banjir bandang yang makin sering terjadi sebagai akibat hilangnya tutupan lahan.
Desa-desa di lereng Gunung Cikuray dan Papandayan seperti Barusari, Cintarakyat, dan Sukamerang, kini hidup dalam ketakutan. Bukan karena hantu atau mitos, tapi karena setiap musim hujan, air bah dan longsoran bisa sewaktu-waktu merobek rumah dan lahan mereka.
Garut Seharusnya Jadi Benteng, Bukan Korban
Sebagai wilayah yang memiliki kawasan konservasi strategis nasional, termasuk Cagar Alam Kamojang, Taman Wisata Alam Papandayan, dan hutan lindung Garut Selatan, Kabupaten Garut memiliki tanggung jawab besar sebagai penyangga ekosistem Jawa Barat dan Indonesia. Namun dalam praktiknya, kawasan ini malah dijadikan arena eksploitasi sumber daya oleh segelintir elit ekonomi dan politik.
Apakah ini bentuk pembangunan? Tidak. Ini adalah bentuk penghancuran yang dibungkus jargon kesejahteraan.
Saatnya Negara Bertindak: HAM Lingkungan Harus Jadi Agenda Utama
Pemerintah Kabupaten Garut, bersama DPRD, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta aparat penegak hukum harus segera melakukan evaluasi, moratorium, dan penegakan hukum terhadap segala bentuk pelanggaran lingkungan hidup. Tak hanya itu, Komnas HAM juga seharusnya turun tangan untuk menyelidiki berbagai pelanggaran HAM berbasis ekologi yang terjadi di Garut.
Tidak ada keadilan sosial tanpa keadilan ekologis. Tidak ada pembangunan yang sah jika dibangun di atas penderitaan rakyat dan kerusakan bumi.
Penutup
Garut tidak boleh menjadi korban dari kebijakan yang korup dan pembangunan yang membabi buta. Kita harus bersuara dan bertindak, karena ketika hutan terakhir tumbang dan sungai terakhir tercemar, maka kita akan sadar bahwa kita telah kehilangan hak paling dasar sebagai manusia—hak untuk hidup. (AA)