Oleh: Ira Maryana, Pemerhati Lingkungan Kabupaten Garut

Pendahuluan: Garut di Ambang Bahaya
Garut, Medialibas.com Kabupaten Garut, tanah dengan keindahan pegunungan dan udara sejuk, kini tengah berdiri di tepi jurang bencana. Topografi yang memesona ini menyimpan ancaman laten: banjir bandang dan longsor yang kian sering terjadi akibat kerusakan ekosistem lereng, salah urus tata ruang, dan pengabaian terhadap prinsip-prinsip ekologis.
Sebagai daerah dengan ketinggian bervariasi, dari dataran tinggi hingga pegunungan, Garut seharusnya menjadi pusat konservasi dan pengelolaan sumber daya alam yang bijak. Namun sayangnya, realita di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: lereng-lereng tajam di selatan Garut dipangkas untuk permukiman dan pertanian tanpa kajian lingkungan memadai.(3/7/2025)
1. Topografi Garut: Surga yang Rapuh
Kabupaten Garut memiliki luas wilayah administratif sebesar 307.407 hektare, dengan sekitar 71,42% (218.924 ha) berada pada tingkat kemiringan 8-25%, sementara sebagian wilayah lainnya bahkan lebih curam, khususnya di wilayah selatan seperti Kecamatan Cisurupan, Cikajang, dan Samarang.
Gunung-gunung besar seperti:
- Gunung Cikuray (2.821 m)
- Gunung Papandayan (2.622 m)
- Gunung Guntur (2.249 m)
- Gunung Karacak (1.838 m)
menjadi dinding alami bagi kabupaten ini, tetapi juga menyimpan potensi bencana luar biasa bila salah kelola. Lereng-lereng di kaki gunung tersebut menjadi daerah rawan banjir bandang, terlebih jika vegetasi hutan hilang akibat pembukaan lahan.
2. Rumus Kalkulus dan Tingkat Bahaya Lereng
Dalam kajian geohidrologi dan risiko banjir bandang, digunakan beberapa pendekatan kalkulus untuk menilai potensi bencana, terutama dengan mengukur:
a. Kecepatan Aliran Permukaan (Runoff Flow Velocity)
Kecepatan air hujan yang mengalir di lereng dapat dihitung dengan rumus: V=g⋅SV = \sqrt{g \cdot S}V=g⋅S
di mana:
- V = kecepatan aliran (m/s)
- g = percepatan gravitasi (9,81 m/s²)
- S = sin(θ) → kemiringan lereng
Misal, pada kemiringan lereng 25% = tan(θ) = 0,25, maka: θ=arctan(0.25)≈14°θ = \arctan(0.25) ≈ 14°θ=arctan(0.25)≈14° S=sin(14°)≈0.241S = \sin(14°) ≈ 0.241S=sin(14°)≈0.241 V=9.81⋅0.241≈2.36≈1.53 m/sV = \sqrt{9.81 \cdot 0.241} ≈ \sqrt{2.36} ≈ 1.53\ \text{m/s}V=9.81⋅0.241≈2.36≈1.53 m/s
Dengan kecepatan >1.5 m/s, air hujan yang turun di wilayah lereng Garut memiliki kekuatan yang cukup untuk menyeret lumpur, batu, bahkan merobohkan rumah-rumah yang berdiri di kaki bukit tanpa perlindungan vegetasi dan drainase memadai.
3. Potensi dan Tingkat Bahaya Banjir Bandang
Dari analisis topografi dan hidrologi, kita dapat menyusun tingkat bahaya banjir bandang secara logika sebagai berikut:
Kemiringan Lereng | Vegetasi | Kepadatan Penduduk | Tingkat Bahaya |
---|---|---|---|
< 8% (dataran) | tinggi | sedang/tinggi | rendah |
8–25% (perbukitan) | menurun | tinggi | sedang-tinggi |
> 25% (lereng curam) | rusak/terbuka | tinggi/bertambah | ekstrem |
Dengan 218.924 ha berada di kemiringan 8–25%, dan sebagian lainnya di atas 25%, maka lebih dari separuh wilayah Garut berada dalam zona siaga banjir bandang dan longsor.
4. UU dan Logika Lingkungan: Suatu Kealpaan Hukum?
Pemanfaatan lahan di Garut banyak yang melanggar prinsip Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan, sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 36 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
“Setiap kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL.” - UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang:
“Lereng dengan kemiringan lebih dari 30% tidak boleh dijadikan kawasan budidaya.” - Permen LHK No. 17 Tahun 2012:
“Zona rawan longsor wajib dijadikan kawasan lindung.”
Namun, di lapangan, lereng-lereng di kaki Gunung Cikuray dan Papandayan justru dipenuhi kebun sayur, bangunan vila, bahkan tambang ilegal. Jika ini dibiarkan, kita sedang menyiapkan bom ekologis yang akan meledak saat curah hujan ekstrem tiba.
5. Vegetasi dan Peran Konservasi
Secara logika ekologis, vegetasi adalah rem alami dari banjir bandang. Akar pohon menahan tanah, menyerap air, dan memperlambat aliran permukaan. Namun, penebangan dan konversi kawasan hutan ke pertanian menghilangkan fungsi penahan ini.
Padahal, vegetasi juga masuk dalam kategori “kawasan strategis lingkungan hidup nasional” menurut PP No. 26 Tahun 2008.
6. Kesimpulan dan Seruan: Garut Perlu Revolusi Ekologis
Dengan kombinasi:
- Topografi curam,
- Kecepatan air tinggi,
- Degradasi vegetasi,
- Tata ruang amburadul,
maka bencana ekologis bukan soal “jika”, tapi “kapan”.
Sebagai pemerhati lingkungan, saya, Ira Maryana, menyerukan:
- Peninjauan ulang izin pemanfaatan lahan di lereng-lereng rawan.
- Reboisasi massif di kawasan selatan Garut.
- Penegakan hukum lingkungan yang tegas dan tidak pandang bulu.
- Pendidikan lingkungan berbasis komunitas di desa-desa rawan bencana.
Jika hari ini kita membiarkan lereng rusak, maka esok anak-anak kita akan mandi lumpur dan menangisi harta yang hanyut dalam banjir bandang.
Penutup:
Garut adalah anugerah. Tapi jika anugerah itu diabaikan dan dieksploitasi tanpa hati nurani, maka akan menjadi laknat yang menenggelamkan kita. Banjir bandang adalah pesan terakhir dari alam. Apakah kita mau mendengar?
“Jangan kamu rusak bumi setelah diperbaiki-Nya.” (AA)
— Q.S. Al-A’raf: 56