Oleh : Asep Yadi ( Pemerhati Lingkungan Hidup )

Garut Medialibas.com – Pengantar: Saat Langit Menangis, Kita Harus Mendengar
Suatu pagi yang tenang di pedesaan, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, “Bu, kenapa sungai kita jadi kering? Dulu aku bisa berenang di sana.”
Sang ibu terdiam. Matanya menerawang, dan hatinya tercekat.
Perubahan iklim bukan sekadar istilah teknis di ruang-ruang konferensi. Ia adalah realitas pahit yang kini mengetuk pintu rumah-rumah kita. Ia menjelma jadi musim yang tak menentu, petani yang gagal panen, anak-anak yang batuk berkepanjangan, nelayan yang pulang dengan perahu kosong.
Ini bukan sekadar masalah cuaca. Ini adalah tentang kehidupan. Tentang hak anak-anak kita untuk menghirup udara bersih, minum air yang layak, dan hidup di bumi yang subur dan damai.(4/7/2025)
Akar Masalah: Ketika Keserakahan Mengalahkan Keseimbangan
Apa yang terjadi pada bumi kita bukanlah kutukan, melainkan konsekuensi. Kita menebang hutan secepat kita membangun kota. Kita membakar bahan bakar secepat kita mengejar keuntungan. Kita mengotori laut secepat kita membuang yang tak kita perlukan.
Penebangan dan pembakaran hutan bukan sekadar hilangnya pohon, melainkan hilangnya penjaga keseimbangan bumi.
Bahan bakar fosil bukan sekadar sumber energi, tapi juga sumber gas rumah kaca yang menjerat panas di atmosfer.
Pencemaran laut bukan hanya tentang sampah plastik, tapi juga matinya ekosistem laut yang dulu membantu menstabilkan iklim.
Industri pertanian besar-besaran memaksakan produksi hingga tanah pun kehilangan kesuburannya.
Sistem iklim kita—yang terdiri dari udara, air, tanah, es, dan kehidupan—tidak bisa lagi menanggung beban keserakahan ini. Saat satu bagian rusak, seluruh sistem terguncang.
Perubahan Iklim: Bukan Lagi Isu Masa Depan, Tapi Luka Hari Ini
Perubahan iklim datang dalam dua rupa: perlahan dan mendadak.
Namun keduanya sama-sama menyakitkan.
Pemanasan global memaksa petani menanam di tanah yang kian panas dan kering. Anak-anak sekolah harus belajar dalam ruangan yang terlalu panas atau kebanjiran. Penyakit demam berdarah dan ISPA meningkat di tengah udara yang kian tak bersahabat.
Curah hujan yang tak menentu membuat panen gagal, jalanan terendam, dan desa-desa terisolasi oleh longsor.
Kenaikan permukaan laut menggerus tanah di pesisir. Rumah-rumah tergenang. Sumur-sumur asin. Dan laut yang dulu memberi rezeki, kini menelan harapan.
Hewan dan tumbuhan pun bingung mencari musim yang dulu mereka kenal. Burung-burung kehilangan arah migrasi. Ikan-ikan menjauh dari jaring nelayan.
Ini adalah krisis. Tapi juga panggilan.
Harapan yang Masih Tersisa: Membangun Kembali dengan Cinta dan Kesadaran
Di balik semua ini, perubahan iklim juga membuka satu peluang: kesadaran kolektif.
Kesadaran bahwa pembangunan tak boleh lagi menyingkirkan alam. Bahwa ekonomi tidak boleh melupakan etika. Bahwa teknologi tanpa keberlanjutan hanyalah bom waktu.
Kita butuh:
- Kebijakan publik yang berpihak pada alam dan rakyat.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus ditegakkan tanpa kompromi. Bukan sekadar tulisan, tapi menjadi roh dalam perencanaan tata ruang, pembangunan infrastruktur, dan semua bentuk eksploitasi sumber daya alam. - Investasi besar untuk energi bersih dan terbarukan.
Matahari dan angin bukan sekadar elemen alam, tapi solusi masa depan. - Pendidikan lingkungan yang dimulai dari rumah dan sekolah.
Karena mencintai bumi harus menjadi budaya, bukan sekadar kampanye. - Penghargaan terhadap kearifan lokal.
Petani, nelayan, masyarakat adat—mereka punya cara hidup yang selaras dengan alam. Mereka bukan penghambat pembangunan, tapi penjaga kehidupan.
Penutup: Bumi Tak Butuh Kita, Tapi Kita yang Butuh Bumi
Perubahan iklim bukanlah takdir, tapi pilihan.
Dan setiap pilihan kita hari ini akan membentuk masa depan anak-anak kita.
Mulailah dari hal kecil. Kurangi plastik. Tanam satu pohon. Pilih transportasi yang ramah lingkungan. Dorong pemimpin untuk membuat kebijakan yang berani berpihak pada lingkungan.
Karena jika kita tidak menjaga bumi hari ini, esok bumi tidak akan menjaga kita.
Dan saat anak cucu kita bertanya, “Kenapa dunia jadi seperti ini?”
Apa jawaban kita nanti? (AA)
“Bumi bukan milik kita semata, tapi titipan anak cucu kita. Rawatlah dia sebelum ia lelah merawat kita.”