
Disusun oleh: Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS)
PENGANTAR: LINGKUNGAN SUDAH BERBICARA—KITA YANG MASIH MENULI
Hari ini, kerusakan lingkungan di Indonesia bukan lagi peringatan dini—ini sudah bencana nyata. Banjir bandang, longsor, kekeringan, pencemaran air dan udara, hingga krisis iklim ekstrem, telah menjadi tamu rutin di berbagai wilayah, termasuk Kabupaten Garut. Tragisnya, semua ini bukan karena takdir alamiah. Ini hasil dari rakusnya manusia dan lemahnya penegakan hukum lingkungan.
Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah kejahatan sistemik yang mengancam keselamatan generasi sekarang dan mendatang. Negara punya kewajiban konstitusional untuk mencegahnya—dan bila lalai, rakyat wajib menggugat.
I. DAMPAK NYATA KERUSAKAN LINGKUNGAN
1. Bencana Ekologis Meningkat
Kerusakan hutan dan alih fungsi kawasan lindung menyebabkan:
- Banjir dan longsor seperti di Sungai Cimanuk dan lereng Gunung Guntur
- Hilangnya keanekaragaman hayati
- Sedimentasi DAS (Daerah Aliran Sungai) dan hilangnya sumber mata air
2. Kerugian Sosial Ekonomi
- Petani kehilangan lahan subur karena tanah longsor
- Warga kehilangan rumah dan mata pencaharian
- Masyarakat terpapar air tercemar dan udara beracun
3. Krisis Kesehatan dan Lingkungan
- Penyakit saluran pernapasan akibat pembakaran liar dan debu dari Galian C ilegal
- Kasus keracunan air akibat limbah industri dan domestik yang tidak diolah
4. Ketimpangan Keadilan Ekologis
Kerusakan lingkungan paling parah justru menimpa kelompok miskin dan terpinggirkan yang tidak pernah menikmati hasil eksploitasi, tapi menanggung semua risikonya.
II. LANDASAN HUKUM YANG DILANGGAR
A. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
Pasal 69 Ayat (1) secara eksplisit melarang:
- Melakukan perusakan ekosistem
- Membuang limbah tanpa izin
- Melakukan kegiatan tanpa AMDAL dan izin lingkungan
Pasal 97 dan 98 mengancam pidana penjara maksimal 15 tahun dan denda hingga Rp 15 miliar bagi pelaku perusakan lingkungan.
B. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law)
Meski mempermudah investasi, UU ini tetap mewajibkan:
- Tata kelola AMDAL berbasis risiko tinggi
- Partisipasi masyarakat dalam penyusunan izin lingkungan
Namun di lapangan, banyak pelaku usaha dan pemerintah daerah mengabaikan partisipasi publik dan memanipulasi dokumen AMDAL.
C. Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja
UU ini mewajibkan:
- Pemulihan fungsi lingkungan oleh pelaku usaha
- Penerapan sanksi administratif, pidana, dan perdata terhadap pelanggaran
Namun hingga kini, penegakan sanksinya masih sangat lemah—karena kolusi, korupsi, dan impunitas.
D. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Pasal 28H ayat (1):
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Pasal 33 ayat (4):
“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.”
III. LIBAS MENUNTUT: AKSI HUKUM DAN PEMULIHAN NYATA
1. Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu
- Tindak tegas pelaku pengrusakan hutan, Galian C ilegal, dan pelanggar kawasan Cagar Alam
- Hentikan pungli dan retribusi liar atas nama wisata alam
2. Gugatan Lingkungan oleh Masyarakat
- LIBAS siap mendampingi warga menggugat pemerintah daerah dan perusahaan ke Pengadilan Tata Usaha Negara maupun Perdata Lingkungan, sesuai Pasal 91 UU PPLH
3. Audit dan Evaluasi Kebijakan Daerah
- Pemerintah pusat harus mengevaluasi seluruh izin lingkungan di Garut, termasuk:
- Izin tambang
- Izin wisata alam di kawasan konservasi
- Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang menyimpang
4. Restorasi Ekologis dan Rehabilitasi
- Wajib dilakukan oleh pelaku kerusakan lingkungan
- Jika tidak mampu, maka harus dilakukan dengan dana pemulihan lingkungan (environmental recovery fund) dari negara
PENUTUP: HUKUM ITU HIDUP KALAU ADA YANG MENEGAKKANNYA
Kerusakan lingkungan bukan sekadar bencana alam. Ini adalah kejahatan terhadap masa depan, dan negara yang membiarkannya adalah negara yang mengkhianati rakyatnya. Bila aparat hukum tidur, maka rakyat harus membangunkannya dengan laporan, gugatan, dan perlawanan sipil.
Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS) mengajak seluruh masyarakat, akademisi, media, dan lembaga hukum untuk bersatu menjaga bumi yang tersisa. Karena saat bumi rusak, tak ada lagi tempat untuk hukum ditegakkan dan hidup dijalani.
“Lingkungan yang rusak adalah tanda negara yang mati rasa. Mari kita hidupkan kembali hukum dengan suara rakyat, bukan bisikan uang haram.”(Aa)