
Oplus_0
Garut,Medialibas.com – Sejumlah aktivis dan tokoh lingkungan di Kabupaten Garut angkat suara terkait kondisi kawasan lindung yang semakin memprihatinkan. Degradasi yang meluas, perambahan hutan yang kian masif, serta ketidaksesuaian antara rencana tata ruang dan realitas lapangan menjadi sorotan utama dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup Garut.
Berdasarkan data terbaru,Kabupaten Garut memiliki kawasan hutan lindung dan konservasi seluas sekitar 102.299 hektar. Namun demikian, luas tersebut tidak menjamin perlindungan maksimal karena sebagian kawasan mengalami kerusakan serius akibat konversi lahan dan lemahnya pengawasan.
Tokoh lingkungan Garut, Kang Darwin Dena menyebut bahwa krisis degradasi kawasan lindung telah memasuki fase darurat. Ia menilai upaya perlindungan lingkungan masih bersifat seremonial tanpa diimbangi langkah tegas di lapangan.
“Kawasan lindung di Garut sudah lama tergerus perambahan. Hutan berubah jadi kebun, jadi ladang, dan ironisnya, ini terjadi di bawah pengawasan aparatur. Tata ruang tidak sinkron, bahkan cenderung mengakomodasi aktivitas yang bertentangan dengan prinsip konservasi,” tegas Darwin. Senin, (02/06/2025).
Hal senada diungkapkan oleh Ahmad Fikria, aktivis muda Garut dari wilayah selatan Garut. Ia menyoroti lemahnya implementasi kebijakan lingkungan yang seharusnya menjadi acuan dalam perencanaan pembangunan.
“Draft RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Garut seringkali tak menggambarkan realitas ekologis. Angka 74,2% alokasi kawasan lindung dalam tata ruang hanyalah formalitas di atas kertas, sementara di lapangan sudah banyak kawasan yang rusak dan tidak lagi berfungsi sebagai penyangga lingkungan,” kata Ahirudin.
Pemerintah daerah sendiri mengklaim telah melakukan berbagai langkah evaluatif. Salah satunya adalah penerapan Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk memantau perubahan kawasan hutan. Teknologi ini diharapkan bisa memberikan data yang lebih akurat sebagai dasar pengambilan keputusan.
Namun, para aktivis menyebut bahwa pemanfaatan teknologi tanpa keberanian politik untuk bertindak hanya akan menjadi laporan yang tidak berdampak nyata.
Sementara itu, dari sisi kajian akademik, sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menentukan batas dan luas kawasan lindung dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial-ekonomi, serta risiko bencana. Namun hasil kajian tersebut tidak selalu diakomodasi dalam penyusunan RTRW.
Ketua Forum Masyarakat Konservasi Garut, Alfi Suherman, mengingatkan bahwa kerusakan kawasan lindung akan membawa dampak besar, tidak hanya bagi ekosistem, tetapi juga bagi masyarakat.
“Jika kawasan lindung rusak, kita akan menghadapi krisis air, peningkatan bencana longsor, dan hilangnya plasma nutfah. Ini bukan hanya soal pohon, ini soal hidup manusia yang tergantung pada keseimbangan alam,” ujarnya.
Para tokoh lingkungan juga menyerukan agar pemerintah lebih terbuka melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dan perlindungan hutan. Pendekatan partisipatif dinilai penting untuk menciptakan rasa memiliki terhadap kawasan lindung.
Selain itu, mereka mendesak agar penegakan hukum diperkuat, terutama terhadap oknum atau kelompok yang terlibat dalam konversi lahan ilegal di kawasan lindung. Mereka menegaskan bahwa tanpa tindakan tegas, degradasi akan terus terjadi dan upaya pelestarian hanyalah wacana kosong.
“Kita butuh keberanian politik, bukan sekadar rencana di atas meja. Masa depan Garut ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan alam hari ini,” pungkas Darwin.
Kawasan lindung adalah warisan generasi, bukan aset yang bisa dikorbankan demi kepentingan sesaat. Jika tidak ada perubahan nyata, bukan tidak mungkin Kabupaten Garut akan kehilangan salah satu aset ekologis terbesarnya dalam waktu dekat. (A1)