
Garut,Medialibas.com – Di tengah semakin parahnya kerusakan lingkungan yang melanda berbagai wilayah Indonesia, suara protes dari masyarakat sipil semakin lantang terdengar. Salah satu yang paling konsisten menyuarakan keresahan ini adalah aktivis lingkungan asal Garut, Sun-Sun. Dalam pernyataan terbarunya, ia mengkritik keras sikap negara yang dianggap tidak serius dalam menangani krisis ekologis yang berdampak langsung pada rakyat kecil.
“Ketika alam menjerit, dan negara hanya diam, itu bukan sekadar kelalaian itu pengkhianatan terhadap amanat konstitusi. Rakyat menderita, kehilangan hak atas ruang hidup, dan lebih parahnya lagi, merasa dibodohi oleh sistem yang seharusnya melindungi mereka,” ujar Sun-Sun dalam wawancara eksklusif dengan medialibas, Selasa (03/06/2025).
Krisis Ekologi yang Dibiarkan
Sun-Sun menyoroti berbagai kejadian bencana ekologis seperti banjir bandang, longsor, pencemaran air, dan kekeringan ekstrem yang belakangan ini kerap terjadi, terutama di wilayah pedesaan. Menurutnya, peristiwa tersebut bukanlah bencana alam semata, melainkan buah dari kebijakan pembangunan yang rakus dan tidak berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Ia mencontohkan kerusakan daerah aliran sungai (DAS), pembukaan lahan secara besar-besaran untuk tambang dan perkebunan industri, serta proyek-proyek strategis nasional yang merambah kawasan hutan lindung tanpa memperhatikan keseimbangan ekosistem.
“Banyak proyek besar dikawal langsung oleh negara, tapi bagaimana dengan masyarakat yang ruang hidupnya hilang? Mereka tidak pernah dilibatkan, bahkan sering kali diintimidasi ketika bersuara. Di sinilah letak kebohongan sistemik yang membuat rakyat merasa dibodohi,” ucapnya.
Negara Dinilai Gagal Menjalankan Mandat Konstitusi
Mengacu pada Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Sun-Sun menekankan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk menjamin lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi setiap warga negara. Namun yang terjadi, menurutnya, justru sebaliknya.
“AMDAL sekarang hanya jadi formalitas. Banyak perusahaan besar yang merusak lingkungan tetap dibiarkan beroperasi. Bahkan kadang dilindungi. Ini bentuk kegagalan struktural. Penegakan hukum terhadap kejahatan lingkungan sangat lemah, bahkan cenderung pura-pura tidak tahu,” katanya.
Rakyat Kecil Jadi Korban Utama
Dalam pengamatannya, Sun-Sun menyebut masyarakat adat, petani, dan nelayan adalah kelompok yang paling terdampak dari kerusakan lingkungan. Mereka kehilangan sumber air, tanah produktif, hutan adat, hingga tempat ibadah dan situs budaya.
“Yang menarik, mereka ini bukan hanya terdampak secara ekonomi. Budaya mereka juga tercerabut. Sistem pengetahuan lokal dalam mengelola alam dihancurkan oleh model pembangunan yang seragam, eksploitatif, dan elitis,” jelasnya.
Sun-Sun juga menyinggung soal konflik agraria yang meningkat, di mana rakyat di kriminalisasi karena membela ruang hidupnya. Ia menilai negara justru lebih berpihak pada korporasi daripada pada rakyat yang mempertahankan tanah dan airnya.
Seruan Aksi: Bukan Sekadar Kritik, Tapi Tuntutan Keadilan
Lebih dari sekadar kritik, Sun-Sun menyerukan agar pemerintah segera melakukan evaluasi total terhadap arah pembangunan nasional. Ia menuntut adanya:
Penegakan hukum lingkungan yang adil dan transparan.
Penghentian sementara proyek yang terbukti merusak lingkungan.
Pemulihan wilayah terdampak dengan melibatkan masyarakat lokal.
Pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.
Pendidikan publik tentang pentingnya keberlanjutan dan keadilan ekologi.
“Kita tidak anti pembangunan. Tapi pembangunan yang mengorbankan rakyat dan alam bukanlah kemajuan, itu perampokan atas masa depan. Negara harus sadar bahwa jika lingkungan hancur, maka ekonomi dan stabilitas sosial juga akan runtuh.”
Jangan Abaikan Tanda-Tanda Zaman
Sun-Sun menutup pernyataannya dengan pesan tegas. Ia mengingatkan bahwa krisis iklim dan lingkungan bukan lagi sekadar isu akademik atau elit politik. Ini soal hidup mati masyarakat. Jika negara terus abai, maka rasa percaya rakyat terhadap institusi akan terus mengikis.
“Kita tidak bisa terus-menerus meminta rakyat bersabar sementara alam dirusak tanpa pertanggungjawaban. Jangan tunggu saat rakyat benar-benar bangkit karena kecewa dan merasa tak ada lagi yang bisa dipercaya. Karena ketika itu datang, bukan hanya alam yang menjerit, tapi sistem negara pun akan diguncang,” pungkasnya. (A1)