
Garut,Medialibas.com – Aktivis lingkungan dan tokoh masyarakat yang dikenal kritis, Tedi Sutardi, kembali bersuara lantang menyoroti berbagai kejanggalan yang terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat khususnya terkait tata kelola kebencanaan dan indikasi kelalaian sistemik yang terus berulang.
Dalam pernyataan terbarunya, Tedi menyebut adanya “tanda tanya besar” atas lambannya penegakan keadilan di tengah deretan peristiwa yang merugikan masyarakat, pemerintah, bahkan negara.
“Ini bukan hanya soal banjir, longsor, atau bencana lain. Tapi ada sesuatu yang lebih dalam: keadilan seolah mandeg, atau jangan-jangan memang sengaja dibiarkan,” tegas Tedi dalam keterangan persnya, Sabtu (28/06/2025).
Menurutnya, banyak kejadian alam yang mestinya bisa dicegah sejak awal, jika perencanaan pembangunan, pengawasan proyek, dan keberpihakan terhadap lingkungan berjalan sesuai aturan. Namun faktanya, kata Tedi, bencana justru datang berulang tidak hanya dua kali, bahkan lebih. “Kalau keledai saja tak jatuh di lubang yang sama dua kali, ini kenapa kita malah berkali-kali? Ada apa sebenarnya?” sindirnya tajam.
Tedi pun menduga adanya pola yang mencurigakan dalam penanganan dan pemulihan pascabencana. Ia tidak menuding secara langsung, namun mengisyaratkan kemungkinan adanya oknum-oknum yang memanfaatkan situasi bencana untuk membuka ruang proyek tambahan.
“Apakah ada yang sedang menunggangi bencana demi keuntungan? Apakah ada yang diam-diam menunggu bencana terjadi agar bisa kembali mengajukan proyek dengan label ‘pemulihan’ atau ‘penanggulangan’? Jika itu benar, ini bukan hanya pelanggaran moral, tapi pengkhianatan terhadap rakyat,” ujar Tedi dengan nada prihatin.
Lebih lanjut, ia menyoroti kerugian yang terus ditanggung masyarakat akibat sikap abai sebagian pihak. Rumah rusak, lahan tergenang, ekonomi warga lumpuh, belum lagi trauma psikologis yang dialami korban.
“Bukan hanya masyarakat yang dirugikan. Pemerintah juga terbebani, anggaran negara terkuras. Jadi siapa yang sebenarnya diuntungkan dengan situasi ini?” tanyanya retoris.
Sebagai solusi, Tedi mendesak aparat penegak hukum untuk tidak diam. Ia meminta dilakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh proyek penanggulangan bencana dalam lima tahun terakhir, termasuk proses lelang, pelaksanaan teknis di lapangan, hingga audit forensik dampaknya.
“Jangan biarkan keadilan menjadi barang mahal di Garut. Jangan biarkan ketidakadilan menjadi budaya. Jika dibiarkan, yang hancur bukan hanya hutan, sungai, dan rumah warga, tapi juga harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap negara,” pungkasnya.
Pernyataan Tedi Sutardi ini sontak menjadi perhatian banyak kalangan, terutama para aktivis lingkungan, pengamat pembangunan daerah, serta masyarakat yang selama ini merasa luput dari perhatian.
Kini publik menunggu, apakah suara lantang ini akan direspons serius oleh pihak berwenang, atau kembali tenggelam dalam gelombang kesenyapan yang memperpanjang deretan tanda tanya di bumi Garut. (A1)