
Oplus_32
Garut,Medialibas.com – Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia kian hari makin mengkhawatirkan. Hutan-hutan gundul, sungai tercemar limbah, udara yang kotor, serta perubahan iklim yang terasa nyata menjadi bukti nyata bahwa bumi tengah mengalami krisis serius.
Hal inilah yang mendorong aktivis sosial dan lingkungan, Radit Julian, untuk angkat bicara dan menyerukan keprihatinan serta seruan keras kepada semua pihak, terutama pemerintah dan aparat penegak hukum (APH).
Dalam wawancara eksklusif dengan awak media pada Kamis (12/6/2025), Radit menyampaikan bahwa kondisi lingkungan saat ini berada di ambang kehancuran akibat aktivitas manusia yang serampangan dan tidak bertanggung jawab. Namun lebih dari itu, Radit menilai ada pembiaran sistemik dari negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga dan melestarikan alam.
“Jangan biarkan bumi ini hancur karena keserakahan dan ketidakpedulian. Banyak aktivitas perusakan lingkungan yang terjadi secara terang-terangan, tapi tidak ada tindakan tegas. Lalu, pemerintah dan aparat penegak hukum itu tugasnya apa? Dimana keberpihakan terhadap lingkungan?” tegas Radit.
Perusakan Alam Terjadi Secara Terstruktur
Radit mengungkapkan bahwa dirinya telah mengikuti sejumlah kasus perusakan lingkungan di beberapa wilayah, termasuk di Garut, Tasikmalaya, dan beberapa daerah lain di Jawa Barat. Kasus-kasus tersebut, menurutnya, tidak berdiri sendiri. Ada indikasi kuat bahwa praktik perusakan lingkungan dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan bahkan terorganisir.
“Contoh paling nyata adalah pembukaan lahan di kawasan lindung, yang tidak hanya merusak ekosistem tapi juga mengancam sumber air bersih bagi masyarakat. Atau tambang ilegal yang menggerus gunung dan mencemari sungai. Ini bukan ulah individu, tapi jaringan. Dan anehnya, tidak ada tindakan serius,” ungkapnya.
Kritik Pedas untuk Pemerintah dan APH
Menurut Radit, ketidaktegasan pemerintah dan lemahnya penegakan hukum menjadi salah satu faktor utama mengapa perusakan lingkungan terus berlanjut. Ia menyebut bahwa banyak pelaku kejahatan lingkungan yang lolos dari jerat hukum, bahkan dilindungi oleh kekuasaan.
“Kadang yang jadi masalah bukan hanya pelaku di lapangan, tapi juga oknum-oknum di balik meja yang membekingi mereka. Jika APH tidak netral dan berpihak pada pemodal, maka jangan harap ada keadilan ekologis di negeri ini,” tandasnya.
Radit pun menantang instansi pemerintah mulai dari dinas lingkungan hidup, kepolisian, hingga kejaksaan dan pengadilan agar berani mengambil langkah nyata dalam menindak para pelaku perusakan lingkungan.
Dorongan untuk Gerakan Rakyat
Lebih jauh, Radit mengajak masyarakat sipil untuk tidak tinggal diam. Ia menyebut bahwa perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif masyarakat untuk mencintai dan menjaga bumi.
“Kita tidak bisa hanya berharap pada negara. Masyarakat harus bangkit. Harus ada gerakan rakyat yang kuat untuk melawan perusakan alam. Dari mulai edukasi, kampanye penyadaran, sampai aksi hukum. Kalau kita diam, kita ikut bersalah,” ujarnya.
Menurutnya, perubahan bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti membuang sampah pada tempatnya, mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, melakukan penghijauan, dan menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Namun yang paling penting, katanya, adalah keberanian untuk bersuara dan melawan ketidakadilan ekologis.
Peringatan untuk Generasi Mendatang
Dalam penutup pernyataannya, Radit mengingatkan bahwa kerusakan alam hari ini bukan hanya persoalan sekarang, melainkan ancaman nyata bagi masa depan anak cucu.
“Kalau hari ini kita biarkan hutan rusak, sungai kering, dan tanah tandus, maka generasi mendatang akan hidup dalam penderitaan. Apa yang akan kita wariskan kepada mereka? Uang tidak akan bisa menggantikan air bersih, udara segar, dan tanah subur,” katanya dengan nada penuh keprihatinan.
Radit berharap agar seruannya ini tidak hanya menjadi sekadar kutipan media, tetapi menggugah hati nurani semua pihak, terutama para pemangku kebijakan, agar segera mengambil langkah nyata. Karena, seperti yang selalu ia gaungkan: “Alam bukan warisan nenek moyang, tapi titipan untuk anak cucu.” (A1)