
Garut,Medialibas.com – Ketika pohon terakhir tumbang, air terakhir tercemar, dan udara terakhir tercemar asap industri, manusia akan menyadari satu hal: uang tidak bisa menggantikan kehidupan. Peringatan keras itu disampaikan oleh Marwan, pemerhati lingkungan dan tokoh masyarakat Garut, dalam Diskusi Publik bertajuk “Degradasi Alam dan Kesejahteraan Manusia”, Sabtu (18/10/2025).
Dalam forum yang dihadiri aktivis, akademisi, dan tokoh masyarakat tersebut, Marwan membuka pembicaraan dengan nada yang tegas namun sarat keprihatinan.
“Alam bukan warisan dari leluhur yang bisa kita habiskan sesuka hati, melainkan titipan untuk anak cucu yang harus kita jaga dengan tanggung jawab,” ujarnya.
Alam: Fondasi Kehidupan yang Mulai Rapuh
Marwan menjelaskan, fungsi alam bagi kehidupan manusia tidak dapat digantikan oleh kemajuan teknologi apa pun. Alam adalah sumber air, oksigen, pangan, energi, dan ruang hidup. Lebih dari itu, alam juga berperan sebagai penjaga keseimbangan ekosistem dan penopang seluruh sistem kehidupan di bumi.
Namun, kenyataan hari ini menunjukkan sebaliknya. Kerusakan hutan, pencemaran air, dan udara yang semakin kotor menjadi pemandangan yang lumrah. Di wilayah Garut bagian utara, lahan-lahan pertanian mulai beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan.
Sementara di selatan, bukit-bukit yang dulu hijau kini gundul oleh penebangan dan tambang ilegal. Sungai-sungai yang dahulu jernih kini dipenuhi limbah dan sampah rumah tangga.
“Ketika hutan ditebang, sungai tercemar, dan udara rusak, yang runtuh bukan hanya ekosistemnya, tapi juga masa depan manusia,” tutur Marwan dalam nada reflektif.
Dampak Langsung: Dari Krisis Air Hingga Bencana Ekologis
Marwan menegaskan bahwa penurunan fungsi alam bukan isu akademis semata, melainkan kenyataan pahit yang kini dirasakan masyarakat. Ia menyebut beberapa dampak nyata dari degradasi lingkungan yang terjadi di berbagai daerah:
Krisis air bersih di sejumlah wilayah akibat berkurangnya daerah resapan;
Peningkatan suhu dan polusi udara yang memicu gangguan kesehatan dan menurunkan kualitas hidup;
Bencana ekologis seperti banjir bandang, longsor, dan kekeringan yang kian sering terjadi;
Menurunnya hasil pertanian, hilangnya keanekaragaman hayati, serta turunnya kesejahteraan petani dan nelayan.
“Dulu air sumur bisa diminum langsung, sekarang banyak warga harus membeli air galon. Dulu sawah panen dua kali setahun, sekarang sering gagal panen karena tanah kering. Semua ini akibat ulah kita sendiri,” tambah Marwan.
Tanggung Jawab Tidak Bisa Dilempar: Pemerintah dan Korporasi Harus Serius
Dalam pandangan Marwan, penyelesaian persoalan lingkungan hidup tidak bisa hanya mengandalkan kesadaran individu. Dibutuhkan keberanian politik dari pemerintah dan integritas moral dari perusahaan untuk berhenti memperlakukan alam sebagai mesin ekonomi yang bisa dieksploitasi tanpa batas.
Pemerintah: Tegakkan Hukum, Jangan Jadi Penonton
Marwan menyoroti lemahnya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan. Banyak kasus pembalakan liar, tambang ilegal, dan pencemaran industri yang hanya berhenti pada peringatan tanpa tindak lanjut.
“Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sudah sangat jelas mengatur kewajiban pemerintah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Tapi kalau aparatnya lemah dan kebijakannya hanya berpihak pada investor, itu sama saja membiarkan kehancuran,” tegasnya.
Ia juga mendesak agar pemerintah daerah memperkuat program reboisasi, memperketat izin industri pencemar, dan meninjau ulang kebijakan tata ruang yang menabrak daya dukung lingkungan.
Perusahaan: CSR Bukan Formalitas
Selain pemerintah, dunia usaha juga disorot keras. Menurut Marwan, banyak perusahaan besar yang hanya menjadikan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai ajang pencitraan, bukan bentuk tanggung jawab nyata terhadap lingkungan.
“CSR itu bukan sekadar bagi-bagi sembako atau bikin taman kecil di depan kantor. CSR sejati adalah memastikan limbah dikelola, air tidak tercemar, dan masyarakat sekitar hidup lebih baik, bukan menderita,” ujarnya tajam.
Marwan menegaskan, keuntungan ekonomi yang diraih perusahaan tidak boleh dibayar dengan penderitaan ekologis rakyat.
Masyarakat: Benteng Terakhir Alam
Marwan percaya bahwa kesadaran publik adalah benteng terakhir dalam menyelamatkan bumi. Gerakan penghijauan, pengelolaan sampah mandiri, dan pengawasan sosial terhadap kebijakan publik perlu diperkuat.
Ia juga menekankan pentingnya pendidikan lingkungan sejak dini, baik di sekolah maupun dalam kegiatan keagamaan.
“Kalau anak-anak sejak kecil sudah diajarkan mencintai alam, maka 20 tahun lagi kita akan punya generasi yang tidak tega menebang pohon tanpa menanam kembali,” ujarnya.
Peringatan Moral: Alam Tidak Akan Menunggu
Dalam penutupnya, Marwan menyampaikan pesan yang menggugah kesadaran kolektif:
“Alam sedang menagih tanggung jawab kita. Ia tidak bicara, tapi bencana adalah bahasanya. Jika kita terus abai, maka yang kita wariskan bukan kehidupan, melainkan kehancuran.”
Seruannya menjadi refleksi bersama: manusia tidak bisa hidup tanpa alam, tapi alam bisa bertahan tanpa manusia. Maka, sebelum terlambat, sudah saatnya semua pihak pemerintah, pengusaha, dan masyarakat berdiri di barisan yang sama: barisan penyelamat bumi. (AA)