
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Malam di Kabupaten Garut, Jawa Barat seakan tak pernah benar-benar tidur. Lampu kafe, musik karaoke, hingga warung remang-remang menjadi denyut nadi lain dari kota yang dikenal religius ini. Di balik gemerlapnya, tersimpan kisah getir para perempuan yang menggantungkan hidup di sana. Salah satunya datang dari NS (32), seorang ibu tunggal yang harus berjuang sendiri setelah rumah tangganya kandas.
Perceraian, Awal dari Keterpurukan
NS mengaku tak pernah membayangkan akan bersinggungan dengan dunia malam. Ia menikah muda, berharap kehidupan rumah tangga bisa menjadi jalan kebahagiaan. Namun, konflik yang tak kunjung reda membuat pernikahan itu berakhir di meja perceraian.
“Setelah berpisah, saya bingung. Harus menanggung anak sendirian, sementara pekerjaan tetap tidak punya. Sempat kerja serabutan, tapi penghasilan sangat kecil. Sampai akhirnya ada teman yang mengenalkan saya pada dunia malam,” ungkap NS saat ditemui Medialibas.com di salah satu sudut kota Garut. Senin, (18/08/2025).
Dunia Malam: Janji Cepatnya Uang, Beratnya Perasaan
Awalnya, NS menolak. Namun, himpitan kebutuhan memaksanya mencoba. “Saya pikir hanya sementara, sampai dapat kerja lain. Tapi ternyata sulit keluar. Uang memang cepat, tapi ada beban di hati yang tidak bisa dibayar,” ucapnya dengan mata sembab.
Setiap malam, ia berpura-pura tersenyum di hadapan para tamu. Padahal, saat pulang dan melihat anaknya tidur lelap, ia sering menangis. “Saya tidak ingin anak tahu pekerjaan saya. Biarlah dia pikir ibunya hanya kerja biasa,” tuturnya lirih.
Stigma dan Tekanan Sosial
Menjadi pekerja malam bukan hanya soal mencari nafkah. NS juga harus berhadapan dengan stigma. “Kalau orang tahu, pandangannya pasti negatif. Padahal mereka tidak tahu kenapa saya sampai di sini. Saya juga tidak bangga,” katanya.
Cerita NS menggambarkan realitas getir banyak perempuan di Garut yang terjebak dalam dunia malam karena kemiskinan, perceraian, atau minimnya lapangan kerja. Mereka menjalani hidup dengan beban ganda: mencari nafkah sekaligus menanggung stigma sosial.
Aktivis: Akar Masalah Bukan Moral, tapi Ekonomi
Seorang aktivis perempuan di Garut menilai, kasus seperti NS kerap disederhanakan menjadi isu moral semata. “Padahal akar masalahnya jelas: kemiskinan, perceraian, dan kurangnya perlindungan sosial. Kalau pemerintah hanya mengandalkan razia,
masalah ini tidak akan selesai,” tegasnya.
Menurutnya, program pemberdayaan seperti pelatihan keterampilan, akses modal usaha, hingga pendampingan psikologis sangat dibutuhkan.
“Perempuan-perempuan seperti NS sebenarnya ingin keluar, tapi mereka tidak punya jalan. Negara seharusnya hadir memberi solusi, bukan sekadar menutup mata,” tambahnya.
Harapan untuk Hidup Normal
Meski terjebak di dunia malam, NS masih menyimpan mimpi sederhana: bisa mandiri tanpa harus bergantung pada pekerjaan ini. “Saya ingin buka warung kecil atau jualan di rumah. Saya hanya ingin hidup tenang bersama anak saya,” harapnya.
Kisah NS adalah cermin kerasnya realitas sosial di Garut malam hari. Di balik gemerlap lampu, ada perempuan yang bertarung dengan luka, stigma, dan keterpaksaan. Mereka bukan sekadar cerita moral, melainkan potret nyata rapuhnya perlindungan sosial bagi perempuan rentan.
Catatan Redaksi:
Nama dan identitas narasumber disamarkan demi menjaga privasi. Artikel ini ditulis sebagai refleksi sosial, bahwa fenomena pekerja malam sering kali lahir dari keterpaksaan, bukan pilihan. (A1)