
Garut,Medialibas.com – Di pelosok selatan Garut, tepatnya di Desa Gunamekar, Kecamatan Bungbulang, Kabupaten Garut, Jawa Barat terselip sebuah cerita yang mengusik nurani publik. Evi Eriyani, Kepala Desa Gunamekar, diduga merangkap jabatan sebagai Kepala Sekolah SPS Bina Desa Gunamekar yang beralamat di Kampung Cikongkak RT/RW 02/02.
Bukan sekadar rumor warung kopi, dugaan ini mengemuka berdasarkan data resmi Dapodik (Data Pokok Pendidikan) yang mencatat sang kades aktif menjabat kepala sekolah. Fakta ini jelas berseberangan dengan Pasal 29 huruf (i) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang melarang kepala desa merangkap jabatan lain yang telah diatur peraturan perundang-undangan.
Lebih dari itu, jabatan kepala sekolah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 sebagai tenaga pendidik posisi yang secara hukum tak boleh dirangkap oleh kepala desa.
Di sisi lain,ancaman sanksinya berat: mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap sebelum masa jabatan berakhir, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 30 UU Desa dan Permendagri Nomor 66 Tahun 2017.
Dugaan “Tangan Tak Terlihat” dan Premanisme
Sejumlah sumber internal yang dihimpun Medialibas.com mengindikasikan adanya aktor intelektual di balik kasus ini. Mereka diduga menjadi “tangan tak terlihat” yang melindungi posisi sang kades meski secara hukum terancam lengser.
Isyarat pembiaran makin kentara ketika pengawasan dari pihak Dinas Pendidikan, DPMD, dan Korwil Kecamatan terlihat lemah, bahkan nyaris tak bersuara. Dugaan intimidasi pun menyeruak. Beberapa warga mengaku enggan bersuara lantang karena khawatir akan mendapat tekanan dari oknum yang disebut-sebut bermental preman.
“Di sini kalau bicara terlalu keras soal kasus ini, biasanya ada saja yang datang ‘mengajak ngobrol’. Orang jadi takut,” ungkap seorang warga yang meminta identitasnya dirahasiakan.
Riki Rustiana: Ini Pelanggaran Berat, Bukan Sekadar Administrasi
Wartawan senior Riki Rustiana dengan tegas menyatakan bahwa dugaan rangkap jabatan ini bukan hal remeh.
“Kalau benar, ini pelanggaran berat. Bukan hanya administrasi, tapi penyelewengan jabatan yang dilindungi pihak-pihak tertentu. Teguran saja jelas tidak cukup. Kita akan bawa ke DPMD, Disdik, Inspektorat, bahkan aparat penegak hukum,” tegasnya.
Riki juga mengkritik keras lemahnya pengawasan Disdik dan Korwil Kecamatan.
“Saya menduga ada pembiaran terstruktur. Masa pihak Korwil tidak tahu yang jadi kepala sekolah itu kepala desa? Jangan-jangan ini bukan satu-satunya kasus, tapi hanya yang kebetulan terbongkar,” katanya.
Integritas dan Etika Aparatur Desa Jadi Taruhan
Kepala desa memegang kendali pembangunan, pelayanan publik, dan pengelolaan anggaran desa. Kepala sekolah bertanggung jawab penuh atas kualitas pendidikan dan pengelolaan tenaga pendidik. Merangkap keduanya berarti menggabungkan dua peran strategis yang memerlukan dedikasi penuh sesuatu yang secara etika dan hukum tak dapat dibenarkan.
Selain berpotensi menurunkan kualitas kerja di dua sektor vital, praktik seperti ini juga membuka celah besar bagi konflik kepentingan. Bagi warga, hal ini bukan sekadar soal aturan, tapi soal rasa percaya pada pemimpin yang seharusnya menjadi teladan.
Ujian untuk DPMD, Disdik, dan Inspektorat
Kini bola panas berada di meja Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), Dinas Pendidikan (Disdik), serta Inspektorat Garut. Publik menunggu apakah mereka akan berani menindak tegas sesuai hukum atau memilih diam demi menjaga “status quo”.
Satu hal yang pasti: pembiaran hanya akan menjadi preseden buruk bagi pemerintahan desa di Garut. Warga Gunamekar berhak mendapatkan kepastian hukum, dan publik Garut berhak melihat hukum ditegakkan tanpa pandang bulu.
Kasus ini bukan sekadar ujian integritas seorang kepala desa, tapi juga ujian nyali para penegak aturan di daerah. Apakah mereka akan mengedepankan keberanian atau justru menyerah pada tekanan? (A1)