
Garut,Medialibas.com – Bencana banjir kembali melanda wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, setelah hujan deras mengguyur kawasan hulu Sungai Cimanuk sejak Jum’at malam hingga Sabtu pagi.
Air sungai meluap dan merendam sejumlah permukiman warga di daerah bantaran sungai, khususnya di wilayah Kampung Sudika, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul. Sedikitnya empat Rukun Warga (RW) terdampak, dengan puluhan rumah terendam air setinggi pinggang orang dewasa. Ratusan warga harus dievakuasi ke tenda-tenda darurat yang didirikan di fasilitas umum seperti lapangan dan aula desa.
Banjir ini bukan hanya menimbulkan kerugian materiil, tetapi juga mengguncang rasa aman masyarakat. Mereka yang terdampak mengaku panik saat air tiba-tiba masuk ke dalam rumah menjelang dini hari.
Banyak warga tidak sempat menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok yang paling rentan dalam kondisi ini.
Pihak Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Garut bersama relawan, TNI, dan Polri bergerak cepat mengevakuasi warga ke lokasi yang lebih aman. Namun, di balik upaya tanggap darurat itu, suara keprihatinan terhadap akar persoalan bencana ini pun mencuat dari para pemerhati lingkungan.
Salah satunya datang dari Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, yang menyatakan bahwa bencana seperti ini adalah buah pahit dari kerusakan lingkungan yang selama ini diabaikan.
“Kita tidak bisa terus menyalahkan curah hujan semata. Ini adalah konsekuensi dari pembiaran dan eksploitasi lingkungan yang terus terjadi tanpa kendali. Kerusakan kawasan hutan, konversi lahan secara masif, dan pengabaian terhadap pentingnya fungsi daerah resapan air telah memperburuk situasi. Sungai Cimanuk sudah tidak lagi mampu menampung debit air saat musim hujan datang,” ujar Tedi kepada wartawan di lokasi pengungsian. Sabtu, (28/06/2025).
Menurutnya, wilayah hulu Sungai Cimanuk, terutama di kawasan Sub-DAS dan hutan lindung, telah mengalami degradasi yang signifikan dalam dua dekade terakhir. Banyak lahan yang dulunya menjadi kawasan hijau kini berubah menjadi lahan pertanian, perumahan, bahkan industri, tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
“Pemerintah daerah harus berani mengevaluasi ulang izin-izin alih fungsi lahan yang dikeluarkan. Kami dari PLAB sejak lama sudah memperingatkan, tapi suara kami seperti angin lalu. Kini masyarakatlah yang menanggung akibatnya,” tambah Tedi.
Ia juga menegaskan bahwa upaya reboisasi dan rehabilitasi hutan tidak bisa hanya menjadi program seremonial. Dibutuhkan tindakan konkret dan konsisten, termasuk keterlibatan semua pihak mulai dari pemerintah desa hingga pusat, agar wilayah tangkapan air di hulu sungai bisa kembali berfungsi secara optimal.
Selain menyuarakan kritik, Tedi juga mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan sekitar.
“Kalau kita tidak peduli sekarang, maka bencana seperti ini akan terus berulang. Bukan hanya di Garut, tapi di seluruh negeri ini. Kita harus ubah cara pandang: menjaga lingkungan bukan hanya tugas aktivis atau pemerintah, tapi tanggung jawab kita semua,” tegasnya.
Di lokasi pengungsian sementara, warga kini sangat membutuhkan bantuan darurat seperti makanan siap saji, air bersih, obat-obatan, dan perlengkapan bayi. Sejumlah organisasi kemanusiaan dan relawan telah mulai menyalurkan bantuan, namun belum mencukupi seluruh kebutuhan.
Pemerintah Kabupaten Garut diminta untuk segera menetapkan status tanggap darurat dan menyiapkan langkah-langkah cepat untuk merespons dampak banjir ini. Tidak hanya itu, proses rehabilitasi dan rekonstruksi pasca-bencana juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan lingkungan agar kejadian serupa tidak terus berulang.
Banjir kali ini menjadi tamparan keras bagi semua pihak. Bahwa pembangunan yang tidak berpihak pada lingkungan pada akhirnya akan membawa kerugian yang jauh lebih besar.
Dalam hal ini, suara-suara seperti yang disampaikan oleh Tedi Sutardi dan PLAB patut menjadi peringatan serius untuk diresapi dan ditindaklanjuti.
“Kita sedang dihadapkan pada krisis iklim yang nyata. Kalau kita masih terus bermain-main dengan alam, maka alam akan balik menghantam kita dengan lebih keras. Inilah kenyataannya. Banjir ini bukan hanya musibah, tapi cerminan dari kegagalan kita menjaga bumi,” pungkas Tedi. (A1)