Judul: Burung-Burung dan Undang-Undang
oleh : Redaksi medialibas.com

Garut, medialibas.com – Di suatu desa yang tenang, di antara sawah hijau dan pohon-pohon jambu yang malas gugur, hiduplah seorang kakek bernama Pak Sastro. Ia pensiunan guru biologi, kini lebih banyak menghabiskan hari dengan duduk di beranda rumahnya, ditemani teh panas dan sepasang burung perkutut yang ia rawat sejak zaman BBM masih Rp 4.500 per liter.(5/6/2025)
Suatu pagi, cucunya, Jaka, bertanya sambil menatap langit.
“Kek, kenapa sih burung penting banget? Emang mereka bisa bayar pajak atau bikin startup?”
Pak Sastro tertawa, suara tawanya seperti gabungan antara elang lapar dan radio tua.
“Burung memang gak bisa bikin aplikasi, Nak. Tapi mereka punya tugas penting dari alam… dan dari negara juga.”
“Negara? Maksudnya burung ada di undang-undang?”
“Betul,” jawab Pak Sastro sambil mengelus janggutnya yang seputih awan mendung. “Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Coba bayangkan, burung itu seperti pasukan super yang dikirim Tuhan untuk jaga bumi.”
Jaka menyipitkan mata, skeptis seperti anak muda yang belum dapat sinyal.
“Coba deh, bayangkan begini,” kata Pak Sastro, memulai dongeng dadakannya.
Burung-Burung Rapat di Hutan
Di tengah hutan lebat, para burung mengadakan rapat penting. Elang jadi ketua, karena dia paling tinggi terbangnya dan paling gagah saat selfie. Burung hantu jadi notulen—karena dia melek terus. Sementara burung pipit sibuk bawa snack biji-bijian buat peserta.
“Teman-teman,” kata Elang dengan suara megah. “Kita ini bukan hanya nyanyi dan cari jodoh. Kita punya fungsi ekologis yang diatur Undang-Undang!”
Semua burung terdiam. Beberapa burung gereja melongo. Seekor burung cucak rowo bertanya, “Fungsi itu apaan, Bang Elang?”
“Pertama,” Elang menjelaskan, “kita jaga keanekaragaman hayati. Kita ini bagian dari harmoni alam. Kalau kita punah, hutan juga ikut gundah.”
Semua burung manggut-manggut, meski burung merpati sempat salah sangka dan mulai nyanyi lagu patah hati.
“Kedua, kita pengendali hama. Bayangin kalau kita gak ada, tikus dan ulat bisa bikin petani stres dan nyalon kepala desa saking kesalnya.”
Burung hantu berseru, “Betul! Saya pribadi udah makan tiga tikus minggu ini. Semua tanpa subsidi!”
Ketiga, Elang melanjutkan, “Kita penyebar biji. Kita makan buah, terbang, lalu… yah, buang biji dengan cara alami. Bukan cara yang bisa dibahas saat makan siang.”
Seluruh peserta tertawa—kecuali burung dara, yang tersipu malu.
Dan terakhir, kata Elang, “Kita ini indikator lingkungan. Kalau kita pergi dari satu tempat, artinya tempat itu sedang rusak. Kita jadi alarm alam—versi burung.”
Kembali ke Beranda Pak Sastro
Jaka melongo mendengar cerita itu.
“Jadi… selama ini burung-burung itu kayak superhero, ya?”
Pak Sastro mengangguk bijak. “Iya. Tapi bedanya, mereka gak pakai jubah. Cuma bulu. Dan mereka gak minta apa-apa, selain alam yang tetap sehat.”
Jaka termenung. Lalu menoleh ke pohon jambu. Di sana ada burung kecil sedang bertengger, seolah ikut mendengar pembicaraan mereka.
“Kita harus jaga mereka ya, Kek?”
“Kalau kita mau bumi tetap bisa ditinggali cucu-cucu kita, iya, Nak. Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Masa nunggu burung bikin petisi online?”
Mereka tertawa bersama, sementara langit pagi makin cerah, dan burung-burung kembali bernyanyi. Tak sekadar lagu, tapi mungkin juga pengingat: alam butuh kita seperti kita butuh mereka.
TAMAT (AA)