
Garut,Medialibas.com, — Ketua Perkumpulan Lingkungan Anak Bangsa (LIBAS), Tedi Sutardi, kembali menggelegar dengan pernyataan keras terhadap lemahnya penegakan hukum lingkungan di Garut. Dalam Pernyataannya kepada awak melalui aplikasi WA media lingkungan, Tedi menyerukan agar seluruh perangkat hukum yang ada, baik administratif maupun pidana, dihidupkan dan digunakan tanpa kompromi untuk menindak tegas para perusak alam yang disebutnya sebagai “penjahat masa depan manusia”.
“Jangan sebut ini hanya pelanggaran. Ini pembantaian ekosistem secara sistematis dan terang-terangan! Dan hukum kita masih ragu menindaknya? Itu sama saja dengan membiarkan pembunuhan massal terhadap manusia melalui perusakan alam,” ujar Tedi dengan suara lantang.
Tedi menyoroti secara tajam tiga pilar penting penegakan hukum lingkungan yang selama ini sering terabaikan: PPLH, PPNS, dan KUHP, yang menurutnya seharusnya menjadi “tritunggal hukum” dalam menyikat habis pelaku kejahatan lingkungan.(25/6/2025)
1. PPLH (Pengawasan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup)
PPLH adalah instrumen pengawasan administratif yang dijalankan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau dinas lingkungan hidup daerah.
Dalam Pasal 69 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009, jelas disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. PPLH memiliki mandat berdasarkan Pasal 71–74 UU tersebut untuk:
- Melakukan pengawasan langsung ke lokasi kegiatan usaha
- Memberikan teguran tertulis
- Menyusun rekomendasi sanksi administratif: pembekuan izin, pencabutan izin, dan penghentian kegiatan
- Melaporkan hasil pengawasan kepada instansi penegak hukum
“PPLH jangan jadi penonton di lapangan. Mereka itu punya wewenang mengaktifkan peluit merah terhadap pelaku industri yang membuang limbah sembarangan atau menambang tanpa AMDAL. Kalau tidak digunakan, mereka sama saja jadi pelindung kejahatan,” tegas Tedi.
2. PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Lingkungan Hidup
PPNS bukan sekadar pegawai biasa. Mereka adalah penyidik sah yang bertanggung jawab langsung menyusun berkas perkara pelanggaran lingkungan. Berdasarkan Pasal 94 UU 32 Tahun 2009, PPNS memiliki kewenangan antara lain:
- Memanggil saksi, ahli, dan pelaku untuk dimintai keterangan
- Masuk ke lokasi kejadian tanpa perlu izin tambahan
- Menyita barang bukti yang diduga berkaitan dengan kejahatan lingkungan
- Berkoordinasi dengan polisi dan kejaksaan untuk pelimpahan kasus
Namun, menurut Tedi, peran PPNS seringkali dilemahkan karena kurangnya dukungan institusional dan politik.
“Bayangkan, ada PPNS di daerah tapi tidak punya dana operasional, tidak dilatih, dan dibiarkan tanpa perlindungan hukum. Ini sabotase sistemik! Negara seolah tidak serius menindak kejahatan lingkungan,” kecam Tedi.
3. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Meski sudah ada UU khusus tentang lingkungan, Tedi menegaskan bahwa KUHP tetap relevan dan dapat digunakan secara bersamaan. Ia menyebut penegakan hukum lingkungan seharusnya bisa dikenakan sanksi berlapis, untuk efek jera maksimal.
Beberapa pasal penting dalam KUHP yang dapat dikenakan:
- Pasal 406 KUHP: Perusakan barang (termasuk hutan, sungai, atau fasilitas negara)
➤ Hukuman: penjara maksimal 2 tahun 8 bulan - Pasal 359 KUHP: Kelalaian yang menyebabkan orang meninggal
➤ Hukuman: penjara maksimal 5 tahun - Pasal 190 KUHP Baru: Dalam pembaruan KUHP 2023, kini sudah ada pasal pidana yang secara eksplisit mengatur tentang perusakan ekosistem dan pencemaran, dengan hukuman pidana badan dan denda berat.
“Hukum harus dipakai secara maksimal. Jangan pilih yang paling ringan. Kalau bisa kena KUHP dan UU Lingkungan, kenakan semua! Supaya tidak ada ruang negosiasi dengan perusak bumi,” kata Tedi penuh emosi.
Seruan Keras: “Aktifkan Semua Jalur Hukum, Atau Kita Kiamat Ekologis!”
Tedi mengakhiri pernyataannya dengan peringatan serius. Menurutnya, jika semua perangkat hukum ini tidak dihidupkan dan dijalankan maksimal, maka Indonesia hanya tinggal menunggu bencana ekologis besar dalam waktu dekat: banjir bandang, tanah longsor, kekeringan ekstrem, dan wabah penyakit.
“Kalau PPLH dibiarkan diam, PPNS tak diberdayakan, KUHP tak dipakai, dan polisi ragu bertindak, maka kehancuran ini legal dan sistematis. Kita akan hadapi krisis pangan, konflik air, dan hilangnya ribuan spesies. Siapkah kalian menanggung dosa sejarah itu?”
Kesimpulan LIBAS: Penegakan hukum lingkungan adalah kewajiban mutlak negara. Jika hukum tidak bertaring, maka bukan hanya pohon dan satwa yang mati — tapi anak cucu kita yang akan hidup di neraka ekologi buatan kita sendiri. (AA)