
Oleh: Pemimpin Redaksi Medialibas.com
Garut Opini,Medialibas.com – Dana desa, sejak diluncurkan pemerintah pusat hampir satu dekade lalu, dimaksudkan sebagai instrumen pemerataan pembangunan di akar rumput. Ia adalah amanah besar: dana publik yang harus mengalir langsung ke masyarakat desa agar kesenjangan ekonomi, sosial, dan infrastruktur bisa dipersempit.
Sementara di banyak tempat, termasuk di beberapa desa di Kabupaten Garut, Jawa Barat roh suci dari dana desa itu mulai tercemar oleh nafsu kekuasaan.
Apa yang seharusnya menjadi hak rakyat, justru diperlakukan seolah milik pribadi pejabat desa. Pertanyaan warga dianggap perlawanan, kritik dianggap gangguan, dan keterbukaan dianggap ancaman. Padahal, transparansi adalah jantung dari pemerintahan yang sehat. Ketika rakyat ingin tahu ke mana uang mereka digunakan, itu bukan bentuk provokasi itu bagian dari partisipasi.
Dana Desa Adalah Hak, Bukan Sedekah
Kita harus mengingat satu hal mendasar: dana desa bukan hadiah, bukan belas kasih, bukan pula sedekah dari pemerintah. Ia adalah hak konstitusional warga negara, yang diatur, dikontrol, dan dipertanggungjawabkan melalui mekanisme publik. Karena itu, siapa pun yang mengelola dana desa sesungguhnya sedang mengelola hak masyarakat, bukan mengatur uang pribadi.
Ketika warga datang bertanya tentang alokasi BLT, BUMDes, ketahanan pangan, CSR, atau pembangunan fisik, itu berarti rakyat sedang menjalankan hak kontrol sosialnya. Sayangnya, masih ada pejabat desa atau aparat kecamatan yang salah paham: mereka merasa diawasi berarti direndahkan. Mereka lupa, jabatan publik bukan ruang kekuasaan, melainkan ruang pelayanan.
Ketertutupan Melahirkan Ketidakpercayaan
Tidak sedikit kasus di mana laporan APBDes hanya menjadi formalitas, terpajang di papan pengumuman sebentar lalu hilang. Banyak warga tidak tahu berapa anggaran yang diterima desa mereka, untuk apa digunakan, dan siapa yang mengerjakan proyeknya. Inilah yang memunculkan ketidakpercayaan.
Keterbukaan seharusnya menjadi kebiasaan, bukan tekanan. Desa yang sehat bukanlah desa yang paling banyak proyeknya, tapi desa yang berani membuka datanya, mengakui kekurangannya, dan melibatkan warganya dalam perencanaan pembangunan.
Ketika aparat justru menutup diri, berarti ada sesuatu yang disembunyikan di balik meja birokrasi.
Warga Bukan Musuh, Tapi Cermin
Kemarahan atau kecurigaan terhadap warga yang menuntut transparansi justru memperlihatkan krisis moral pengelola pemerintahan desa. Dalam sistem demokrasi, rakyat bukan obyek yang harus dikendalikan, tapi subyek yang harus dilibatkan.
Setiap rupiah dana desa adalah uang rakyat, dikumpulkan dari pajak dan sumber negara lainnya. Maka, wajar bila rakyat meminta laporan. Wajar bila mereka ingin tahu bagaimana dana untuk BUMDes, ketahanan pangan, pembangunan tumpang tindih, atau dana CSR benar-benar digunakan.
Rakyat bukan musuh pemerintah desa mereka adalah cermin yang menunjukkan apakah pemerintahan dijalankan dengan benar atau tidak.
Kekuasaan Harus Diimbangi Keterbukaan
Jabatan kepala desa, perangkat, hingga pengurus APDESI bukanlah alat untuk menumpuk pengaruh, tapi amanah untuk melayani. Bila ada aparat yang “kebakaran jenggot” hanya karena ditanya soal dana desa, itu tanda bahwa integritas mulai digerogoti rasa takut akan kebenaran.
Keterbukaan tidak pernah merugikan siapa pun yang jujur. Sebaliknya, ketertutupan adalah pintu bagi penyimpangan. Karena itu, desa harus kembali pada prinsip: tidak ada dana publik yang boleh disembunyikan dari rakyat.
Kembali ke Semangat Awal: Desa untuk Rakyat
Esensi dana desa adalah memberdayakan rakyat, bukan memperdaya mereka. Bukan menjadikan aparat desa sebagai “tuan” baru di atas penderitaan rakyat kecil, tapi justru menjadikan rakyat sebagai subyek pembangunan yang sesungguhnya.
Ketika dana desa dikelola dengan benar dan transparan, desa akan tumbuh dengan martabat. Tapi ketika dana desa dijadikan alat kekuasaan, maka desa hanya akan menjadi miniatur korupsi kecil secara wilayah, tapi besar dalam penyimpangan moral.
Warga yang berani bersuara tidak perlu takut, karena kebenaran selalu berpihak pada yang jujur. Begitu pula para pejabat desa, tidak perlu gentar bila memang bekerja dengan niat tulus dan bersih.
Mari kita ingat bersama: dana desa bukan alat kekuasaan, tapi hak rakyat. Ia harus dikelola dengan jujur, dibuka dengan transparan, dan dipertanggungjawabkan dengan hati nurani.
Karena pada akhirnya, sejarah tidak akan mencatat siapa yang berkuasa, tapi siapa yang benar-benar berbuat untuk rakyat.