
Garut,Medialibas.com – Dalam menghadapi tantangan pembangunan yang kian kompleks, Deni, salah satu tokoh dari perkumpulan lingkungan anak Bersatu (LIBAS), menegaskan bahwa pendekatan berbasis kapasitas lingkungan merupakan langkah fundamental untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dan adil.
Menurutnya, perencanaan tata ruang yang tidak memperhitungkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hanya akan melahirkan konflik pemanfaatan lahan, degradasi lingkungan, hingga bencana ekologis.
“Kita tidak bisa lagi membangun seenaknya. Ada batas kemampuan bumi yang harus dihormati. Tata ruang itu bukan hanya soal peta dan zonasi, tapi tentang bagaimana kita menjaga keseimbangan antara alam dan aktivitas manusia,” tegas Deni dalam sebuah diskusi lingkungan yang digelar di Garut, Sabtu (01/06/2025).
Tata Ruang Tak Bisa Asal-Asalan
Deni menjelaskan bahwa banyak persoalan lingkungan di daerah bermula dari tata ruang yang tidak sinkron dengan realitas ekologis di lapangan. Ia menyoroti masih adanya pembangunan perumahan di kawasan rawan longsor, alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi industri, hingga eksploitasi wilayah resapan air untuk proyek properti.
“Kalau daya dukungnya tidak kuat, tanahnya labil, ya jangan dipaksakan untuk dibangun. Itu bunuh diri secara perlahan. Dan kalau daya tampung lingkungannya sudah jenuh, pasti akan timbul masalah, mulai dari banjir, kekeringan, sampai konflik sosial,” ujar Deni.
Ia pun mengajak semua pihak, mulai dari pemerintah daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat sipil untuk mendorong adanya transparansi dan partisipasi publik dalam proses penyusunan dan revisi tata ruang.
Air dan Lahan Harus Dikelola Sesuai Kapasitasnya
Dalam pandangannya, persoalan air dan lahan menjadi dua sektor krusial yang harus dikelola dengan pendekatan berbasis daya dukung dan daya tampung. Sumber daya air, menurutnya, sering kali menjadi korban utama eksploitasi. Mulai dari penggunaan berlebihan untuk industri, pencemaran limbah, hingga perubahan tutupan lahan yang menyebabkan resapan air terganggu.
“Sumber daya air harus dijaga keseimbangannya. Kita harus tahu batas penggunaan air untuk irigasi, industri, dan konsumsi rumah tangga. Kalau tidak dikendalikan, bencana kelangkaan air akan jadi kenyataan,” tegasnya.
Begitu pula dengan lahan. Deni menilai bahwa pengelolaan lahan yang mengabaikan daya dukungnya telah menyebabkan tanah menjadi tidak subur, rentan erosi, dan tidak lagi produktif.
“Lahan itu punya kapasitas. Jangan mentang-mentang ada ruang kosong, langsung dikapling jadi kavling perumahan. Cek dulu, sesuai atau tidak dengan peruntukan dan daya dukung ekologisnya,” tandas Deni.
Pemerintah Harus Jadi Contoh
Deni juga mendesak agar pemerintah daerah menjadi teladan dalam penerapan tata ruang berbasis lingkungan. Menurutnya, pemerintah tidak boleh hanya berorientasi pada investasi semata, tetapi harus memiliki visi jangka panjang yang berpihak pada kelestarian alam dan keselamatan masyarakat.
“Pemerintah jangan tutup mata. Jangan hanya pikir jangka pendek. Kita butuh tata ruang yang pro-lingkungan, bukan pro-kapital. Kalau semua pembangunan dipaksakan tanpa menghitung dampak ekologisnya, yang rugi masyarakat sendiri,” kata Deni.
Ia juga menyarankan agar setiap proyek pembangunan wajib melampirkan analisis daya dukung dan daya tampung sebagai syarat mutlak sebelum mendapatkan izin. Dengan begitu, pembangunan akan lebih terarah dan tidak merusak tatanan ekosistem yang sudah ada.
Keseimbangan Adalah Kunci Masa Depan
Sebagai penutup, Deni LIBAS menegaskan bahwa pembangunan berkelanjutan hanya dapat tercapai jika semua pihak memiliki kesadaran dan komitmen terhadap pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan.
“Ini bukan sekadar isu teknis. Ini soal masa depan. Kalau kita tidak bisa mengelola ruang dan sumber daya sesuai kapasitasnya, kita sedang mewariskan kehancuran untuk generasi mendatang. Sudah saatnya semua pemangku kepentingan duduk bersama, bicara jujur, dan bertindak nyata demi bumi yang lebih sehat,” pungkasnya. (A1)