
Garut,Medialibas.com – Di sebuah sudut Kampung Cukang Jambe, RT 04 RW 04, Desa Sancang, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat tersimpan kisah pilu yang mungkin jarang tersentuh mata publik. Agus Setiawan, seorang pria berusia 44 tahun, kini hanya bisa menatap hari-hari yang kian suram dari sebuah rumah sederhana yang sudah lama kehilangan kehangatan keluarga.
Agus bukan hanya hidup miskin secara harta, tetapi juga miskin akan pendampingan. Ia terpaksa menjalani hidup sebatang kara setelah ditinggalkan istri dan anak-anaknya. Kepergian orang-orang terdekat itu meninggalkan luka yang sulit terobati, terlebih ketika penyakit pengapuran tulang mulai menggerogoti tubuhnya. Kini, untuk sekadar berdiri dan berjalan pun, ia tak lagi mampu.
“Dulu, saya masih kuat kerja apa saja. Jadi kuli, buruh tani, apa saja saya lakukan. Tapi sekarang… jangankan bekerja, untuk berdiri pun saya sudah tidak bisa,” tutur Agus dengan suara lirih, menahan air mata yang hampir jatuh saat di sambangi awak media di rumahnya pada. Kamis,(04/09/2025).
Hidup dalam Sunyi dan Penderitaan
Di rumah yang sepi tanpa canda tawa keluarga, Agus hanya ditemani rasa sakit yang tak kunjung reda. Hari-harinya dihabiskan di atas tempat tidur, menunggu siapa saja yang sudi datang menjenguk atau sekadar memberi sedikit makanan. Sesekali, tetangga berbaik hati membantu, namun tidak selalu cukup untuk menopang hidupnya yang semakin sulit.
Tanpa pekerjaan, tanpa penghasilan, dan tanpa keluarga, Agus benar-benar terjebak dalam lingkaran penderitaan. Bahkan untuk kebutuhan paling dasar seperti beras, lauk-pauk, hingga obat-obatan, ia sering kali harus menunggu uluran tangan orang lain.
Potret Buram Warga Terlupakan
Kisah Agus hanyalah satu dari sekian banyak potret buram masyarakat pelosok Garut yang terpinggirkan. Ketika tubuh tak lagi mampu bekerja dan keluarga tak lagi menemani, maka harapan hidup pun seolah kian menipis.
Tidak adanya jaminan sosial yang kuat membuat Agus semakin rapuh. Ia belum tersentuh bantuan rutin yang seharusnya menjadi haknya. Padahal, kehadiran bantuan pemerintah maupun kepedulian masyarakat sangat berarti bagi orang-orang seperti Agus yang kini tak lagi punya siapa-siapa.
Ajakan Kepedulian
Agus Setiawan hanyalah seorang manusia biasa yang sedang diuji dengan penderitaan luar biasa. Di balik tubuh ringkih dan pandangan matanya yang kosong, tersimpan harapan besar agar ada tangan-tangan dermawan yang sudi merangkulnya keluar dari jurang kesepian dan kesengsaraan.
Kisah Agus semestinya membuka mata kita semua bahwa di balik gemerlap kota, masih ada warga yang berjuang hanya untuk sekadar bertahan hidup. Apakah kita rela membiarkan seorang saudara kita tergeletak tak berdaya, hidup sendirian, tanpa kepastian, hingga akhirnya menyerah pada takdir?
Kini, Agus hanya menunggu: apakah ada yang mau peduli, ataukah ia akan terus menua dalam sunyi, dengan perih yang kian menggerogoti. (Wawan Sutiawan)