
Garut,Medialibas.com – Nama Dedi Mulyadi kembali menghiasi ruang publik dengan beragam aksi sosial yang ditayangkan melalui kanal YouTube dan media sosial pribadinya. Gaya komunikasi yang menyentuh hati dan aksi langsung ke lapangan membuatnya dielu-elukan sebagian masyarakat.
Namun, di tengah pujian itu, suara-suara kritis mulai bermunculan. Sejumlah aktivis dan pengamat mulai mempertanyakan kesesuaian antara citra publik yang dibangun lewat layar ponsel dengan realitas persoalan masyarakat yang belum tersentuh penyelesaian.
Galian C Ilegal: Masalah Nyata yang Terabaikan
Salah satu sorotan paling tajam datang dari persoalan lingkungan, khususnya aktivitas Galian C ilegal di wilayah Kabupaten Garut. Kegiatan tersebut dinilai berdampak buruk terhadap alam dan keselamatan warga. Meski sudah lama menjadi isu publik, belum tampak langkah konkret dari pemerintah daerah, termasuk dari figur politik berpengaruh seperti Dedi Mulyadi.
“Apakah karena ada kedekatan pelaku dengan kekuasaan? Atau karena hubungan personal dengan elit lokal? Ini yang perlu dijawab dengan jujur,” ungkap seorang aktivis lingkungan yang meminta namanya dirahasiakan, Minggu (01/06/2025).
Ia menyayangkan bila kampanye cinta lingkungan hanya berhenti di konten dan tidak menyentuh akar persoalan.
Antara Kepedulian Sosial dan Panggung Pencitraan
Konten-konten sosial Dedi Mulyadi memang tak bisa dipungkiri telah menarik perhatian publik luas. Aksi berbagi sembako, renovasi rumah warga, hingga membantu lansia terekam apik dalam video-video yang ditonton jutaan kali.
Namun, muncul kritik mengenai potensi pencitraan dan monetisasi di balik semua itu.
“Kalau penghasilan dari konten bisa sampai miliaran, publik wajar bertanya: apakah benar ini murni dari keikhlasan pribadi?” kata salah seorang jurnalis senior di Garut.
Ia juga menyoroti peran media lokal yang kini terpinggirkan. “Media kita hanya dianggap penting jika jadi bagian dari konten, padahal selama ini kami yang konsisten mengawal isu-isu masyarakat,” tambahnya.
Pendidikan dan RTLH: Janji Lama yang Belum Terealisasi
Kritik juga datang dari sektor pendidikan, terutama saat menjelang penerimaan siswa baru. Praktik pungutan liar berupa “uang bangunan” masih terjadi, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kebijakan pendidikan gratis.
“Kalau pungli masih ada, ini jelas mencoreng semangat reformasi pendidikan. Di mana peran tokoh-tokoh seperti Dedi?” ujar Siti Rahmah, warga Tarogong Kidul.
Hal serupa disampaikan warga miskin yang rumahnya masih belum diperbaiki, meski janji perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) sudah digulirkan sejak lama. “Dulu katanya semua rumah harus layak huni. Tapi rumah saya masih bocor parah,” kata Juju Juariah, warga Desa Cibunar.
Rakyat Ingin Aksi Nyata, Bukan Hanya Tayangan Emosional
Banyak pihak mendesak agar Dedi Mulyadi keluar dari bayang-bayang kamera dan hadir langsung menyelesaikan persoalan mendasar di lapangan.
“Masalah rakyat itu nyata, tidak cukup dibalut musik sendu dan narasi menyentuh,” tegas Asep Mardiana, tokoh pemuda Garut.
Asep menambahkan pentingnya kolaborasi dengan media lokal, agar informasi tidak hanya dipusatkan pada konten personal, tapi juga menyebar melalui jurnalisme yang independen dan berimbang.
Menanti Respons: Antara Konten dan Komitmen
Sampai saat ini, belum ada tanggapan resmi dari pihak Dedi Mulyadi atas berbagai kritik tersebut. Namun, publik menanti langkah konkret dan pembuktian langsung dari tokoh yang digadang-gadang akan maju untuk menjadi menteri di era Presiden Prabowo Subianto.
Jika ingin mendapat kepercayaan lebih luas, Dedi Mulyadi harus menunjukkan bahwa dirinya bukan hanya piawai merangkai narasi digital, tetapi juga berani menghadapi realitas keras dan menyelesaikannya hingga tuntas. (A1)