
Garut,Medialibas.com Opini – Ada satu babak dalam kehidupan yang tak pernah kita minta, tapi terkadang harus kita jalani: saat kita disakiti oleh orang yang kita percaya, dijatuhkan oleh mereka yang pernah kita bantu, dan dikhianati oleh mereka yang pernah kita lindungi.
Babak ini tidak hanya menyakitkan, tapi juga membingungkan. Kita bertanya-tanya, “Mengapa harus aku?” Padahal kita tahu, niat kita lurus, langkah kita tulus, dan hati kita tidak pernah berharap apa pun selain kebaikan.
Namun beginilah hidup. Tidak semua orang mampu menghargai ketulusan. Tidak semua orang sanggup membalas kebaikan dengan kebaikan. Bahkan terkadang, justru karena kita baiklah kita dijadikan sasaran oleh mereka yang gelap mata karena ambisi, iri hati, atau nafsu dunia.
Ketika Luka Tidak Terlihat Tapi Terasa Dalam
Luka karena pengkhianatan berbeda dari luka fisik. Ia tak terlihat, tapi dampaknya bisa jauh lebih menghancurkan. Ia menyerang batin, merobek kepercayaan, dan melumpuhkan keyakinan kita terhadap manusia. Yang lebih menyakitkan, pengkhianatan seringkali datang dari orang yang paling dekat dari mereka yang kita beri ruang di hati dan waktu dalam hidup kita.
Banyak orang kuat menghadapi kemiskinan, kekurangan, bahkan musibah. Tapi tidak semua orang kuat menghadapi pengkhianatan. Sebab yang dihancurkan bukan hanya apa yang kita miliki, tapi juga nilai-nilai yang kita pegang: kepercayaan, loyalitas, dan persaudaraan.
Namun di tengah puing-puing kepercayaan itu, kita dihadapkan pada pilihan besar: membalas dengan kemarahan, atau memaafkan dengan keikhlasan.
Jalan Sunyi Keikhlasan
Keikhlasan adalah jalan yang sepi.
Tidak banyak orang mau melewatinya karena tidak ada sorak sorai di sepanjang jalan itu. Tidak ada pembelaan instan.
Tidak ada kemenangan sesaat.
Yang ada hanya kesunyian, air mata, dan perjuangan batin yang tidak terlihat oleh siapa-siapa.
Namun justru di jalan sunyi itu, kita menemukan kedewasaan. Kita belajar bahwa tidak semua luka harus dibalas. Tidak semua pengkhianatan harus dibuka. Tidak semua kesalahan harus diumbar. Karena ketika kita memilih diam dan memaafkan, bukan berarti kita lemah. Tapi karena kita cukup kuat untuk menahan amarah dan cukup percaya bahwa Tuhan tidak pernah tidur.
Memaafkan bukan berarti kita membenarkan pengkhianatan. Bukan berarti kita menerima kezaliman. Tapi itu adalah bentuk penyerahan tertinggi kepada Tuhan sebuah pengakuan bahwa kita bukan hakim, bukan algojo, dan bukan pemilik keadilan. Kita hanya hamba. Dan hamba yang baik adalah hamba yang tidak mendahului Tuhannya dalam membalas.
Keadilan Tuhan Tidak Pernah Salah Alamat
Mereka yang pernah dikhianati dan memilih diam, tahu betul bahwa waktu dan Tuhan adalah kombinasi paling sempurna dalam membalas setiap kejahatan. Mungkin tidak hari ini. Mungkin tidak esok. Tapi akan datang waktunya. Dan saat waktunya tiba, balasan itu datang tidak dengan amarah, tapi dengan cara paling elegan yang hanya bisa dirancang oleh tangan Tuhan.
Bisa jadi, yang dulu menuduh, kini dicibir oleh publik. Yang dulu menjatuhkan, kini jatuh oleh perbuatannya sendiri. Dan yang dulu dizalimi, kini naik derajatnya tanpa perlu berkata satu kata pun.
Tuhan tidak pernah buta. Tidak satu pun air mata yang jatuh karena dizalimi akan dibiarkan menguap sia-sia. Setiap kepedihan yang kita tahan dalam diam, setiap kesabaran yang kita genggam dengan air mata, semuanya dicatat. Dan saat keadilan Tuhan datang, itu tidak hanya menyembuhkan, tapi juga memuliakan.
Menang Tanpa Perlu Menginjak
Dalam dunia yang keras, banyak orang berpikir bahwa membalas adalah bentuk kemenangan. Tapi sesungguhnya, kemenangan sejati adalah saat kita tetap bisa berjalan tegak tanpa harus menjatuhkan. Saat kita tetap bisa tenang meski difitnah. Saat kita tetap bisa mendoakan orang yang menusuk kita dari belakang.
Itulah kekuatan sejati. Itulah kemuliaan sejati. Menang bukan dengan melukai, tapi dengan tetap menjaga kemanusiaan kita di tengah derasnya amarah.
Diam Adalah Doa yang Paling Dalam
Hari ini, jika kamu sedang berada di posisi yang tersakiti, dikhianati, dan didzalimi, ingatlah bahwa kamu sedang menempuh jalan orang-orang mulia. Jalan yang dulu ditempuh para nabi, para pejuang, dan orang-orang besar. Mereka semua pernah disakiti, tapi mereka tidak membalas dengan cara yang sama. Mereka menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Dan mereka menang bukan di mata manusia, tapi di mata Tuhan.
Biarkan mereka yang berkhianat terus menari di atas panggung kepalsuan. Biarkan mereka menikmati tepuk tangan semu. Karena pada akhirnya, kebenaran akan bicara. Dan Tuhan akan mengangkat siapa yang sabar, serta menjatuhkan siapa yang zalim.
“Karena dalam hidup ini, bukan balasan yang kita tunggu. Tapi keadilan Tuhan yang kita nanti.” (RZ)