
Oplus_131072
Tasikmalaya,Medialibas.com – Profesi wartawan kembali menjadi sorotan publik setelah insiden dugaan penghinaan oleh seorang Kepala Desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kepala Desa Cibatuireng, Kecamatan Karangnunggal, berinisial AJT, diduga melontarkan ucapan merendahkan dengan menyebut seorang jurnalis sebagai “wartawan gembel”. Peristiwa ini sontak memicu gelombang reaksi keras dari kalangan pers, aktivis, hingga masyarakat umum.
Kronologi Peristiwa
Insiden terjadi pada Senin (29/09/2025), ketika seorang wartawan media online, Nanang Sudrajat yang akrab disapa Abah, tengah menjalankan tugas jurnalistik di Kantor Desa Cibatuireng. Abah mendatangi kantor desa untuk meminta klarifikasi terkait informasi publik, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin hak wartawan memperoleh informasi.
Namun, bukannya mendapat jawaban informatif, Abah justru mendengar perkataan yang dinilai tidak pantas dari sang Kepala Desa. Dalam rekaman percakapan yang kemudian beredar luas di media sosial, AJT terdengar mengucapkan istilah “wartawan gembel”. Ucapan itu seketika menjadi viral dan menimbulkan kontroversi.
Banyak pihak menilai pernyataan tersebut bukan hanya bentuk pelecehan personal, tetapi juga penghinaan terhadap profesi wartawan secara keseluruhan. Padahal, wartawan dikenal sebagai salah satu pilar demokrasi yang menjalankan fungsi kontrol sosial.
Reaksi Keras dari Kalangan Pers
Kepala Perwakilan Wilayah (Kaperwil) Jawa Barat Redaksi Jurnalis.com, Ajang Moh MP, SE, mengecam keras ucapan tersebut. Menurutnya, ucapan merendahkan yang dilontarkan seorang pejabat publik adalah tindakan yang sangat tidak pantas.
“Wartawan bukan orang gembel. Mereka adalah kaum intelektual yang bekerja menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Apa yang dikatakan Kades itu jelas melecehkan profesi wartawan,” tegas Ajang saat ditemui awak media pada Selasa (30/09/2025).
Ajang menambahkan, perbedaan bisa saja terjadi jika ada wartawan yang tidak profesional. Namun, menyebut wartawan secara umum dengan istilah merendahkan adalah bentuk penghinaan yang tidak bisa ditoleransi.
Langkah Hukum Akan Ditempuh
Redaksi Jurnalis.com memastikan tidak akan tinggal diam. Mereka menegaskan siap menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan dan menjaga kehormatan profesi wartawan.
“Langkah hukum ini harus ditempuh. Bukan semata-mata untuk membela seorang individu, tapi demi menjaga marwah pers agar tidak diremehkan oleh pejabat publik,” ujar Ajang.
Pihaknya menyebut akan menggunakan dasar hukum merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, khususnya Pasal 433, 434, dan 436 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang penghinaan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang, termasuk serangan yang ditujukan kepada profesi yang sedang menjalankan tugasnya.
Ancaman bagi Kebebasan Pers
Kasus ini menimbulkan keprihatinan mendalam. Kebebasan pers merupakan hak konstitusional yang dilindungi undang-undang. Wartawan memiliki peran vital dalam menyampaikan informasi yang benar, akurat, dan berimbang kepada masyarakat.
Banyak pihak menilai, jika kasus ini dibiarkan tanpa penindakan, akan muncul preseden buruk yang membuat wartawan semakin rentan diremehkan oleh pejabat publik.
Seorang jurnalis senior di Tasikmalaya menegaskan, penghinaan terhadap wartawan bukan hanya persoalan individu, tetapi juga ancaman langsung terhadap demokrasi.
“Tanpa pers, masyarakat akan kehilangan akses informasi penting. Wartawan itu mitra, bukan musuh pemerintah,” ucapnya.
Dukungan dari Komunitas Pers
Sejumlah wartawan dari berbagai media di Tasikmalaya menyatakan solidaritas terhadap kasus ini. Mereka sepakat untuk mengawal proses hukum hingga tuntas. Bahkan, muncul wacana pembentukan tim advokasi bersama agar langkah hukum lebih terkoordinasi.
“Kalau hal seperti ini dibiarkan, ke depan wartawan bisa semakin tidak dihargai. Padahal, kerja wartawan dilindungi undang-undang. Kita harus lawan setiap bentuk pelecehan,” ujar salah satu perwakilan organisasi pers di Tasikmalaya.
Pejabat Publik Diminta Lebih Bijak
Kasus ini sekaligus menjadi pelajaran penting bagi pejabat publik. Mereka dituntut untuk lebih bijak dalam berbicara, terutama ketika berhadapan dengan wartawan. Pers seharusnya dipandang sebagai mitra dalam mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan demokratis.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kepala Desa Cibatuireng, AJT, belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan ucapannya tersebut. Namun, desakan dari berbagai pihak agar kasus ini diproses hukum terus menguat.
Insiden dugaan penghinaan ini tidak hanya menyinggung seorang wartawan, tetapi juga menyentuh martabat profesi pers secara keseluruhan. Publik kini menanti apakah langkah hukum benar-benar akan ditempuh, serta bagaimana aparat penegak hukum menyikapi kasus ini.
Kasus ini menegaskan bahwa menghormati profesi wartawan bukan sekadar etika, tetapi juga bagian dari menjaga keberlangsungan demokrasi di Indonesia. (Saepuloh)