
Oplus_131072
Garut,Medialibas.com – Program Revitalisasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tahap 2 tahun 2025 di Kabupaten Garut,Jawa Barat yang semestinya menjadi tonggak peningkatan sarana pendidikan anak, kini terancam tercoreng. Isu dugaan pungutan liar (pungli) sebesar 15 persen mencuat, menimbulkan keresahan di kalangan pengelola sekolah penerima bantuan.
Menurut informasi yang dihimpun, sejumlah pengelola TK dan Kober di Garut dipaksa menyisihkan dana bantuan untuk disetorkan kepada oknum yang mengaku memiliki akses ke Dinas Pendidikan. Besaran setoran yang diminta pun tidak kecil: mulai dari Rp30 juta hingga Rp60 juta, tergantung nilai bantuan yang diterima.
“Kalau tidak setor, sekolah disebut-sebut akan dicoret dari daftar penerima bantuan ke depan. Kami merasa dalam posisi terjepit,” ungkap salah seorang pengelola TK di wilayah Garut Selatan.
Modus “Setoran Wajib”
Bantuan Revitalisasi PAUD tahun ini diberikan melalui Kementerian Pendidikan, Dirjen PAUD, Dikdas, dan Dikmen. Di Kabupaten Garut, tercatat 17 sekolah penerima, di antaranya TK Al Kautsar, TK Al Junaediyah, TK Aisyiah 2, hingga TK Al Khoeriyah.
Nominal bantuannya pun fantastis, mencapai Rp200 juta hingga Rp400 juta per lembaga. Namun, dengan adanya dugaan pungli 15 persen, sekolah penerima Rp200 juta dipaksa menyetor Rp30 juta, sedangkan penerima Rp400 juta diwajibkan Rp60 juta.
Sementara menurut RS adanya isu tersebut, Ini menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Alih-alih fokus memperbaiki sarana belajar, para pengelola sekolah malah dihantui ancaman setoran “wajib” yang merampas hak anak-anak didik.
Bantahan Disdik Garut
Plt. Kepala Bidang Pendidikan Masyarakat (Dikmas) Disdik Garut, Iyan, menepis tudingan tersebut. Menurutnya, program revitalisasi sepenuhnya dikelola oleh pemerintah pusat, dan dinas hanya berperan sebagai fasilitator teknis.
“Bantuan ini turun langsung dari pusat ke rekening lembaga penerima. Kami tidak punya kewenangan untuk memotong atau menentukan siapa penerimanya,” jelas Iyan.
Ia bahkan menilai tuduhan pungli janggal, karena pencairan di Garut berlangsung bertahap, bukan serentak.
“Kalau mekanismenya berbeda-beda, berarti pusat yang menentukan. Tidak ada ruang bagi kami untuk ikut campur,” tambahnya.
UU Tipikor Mengintai
Wartawan senior Garut, RS, menilai isu ini bukan bisa dianggap sepele. Menurutnya, jika benar terjadi praktik pungutan, hal itu bisa masuk kategori tindak pidana korupsi sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Pasal 12 huruf e sudah jelas, pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberikan setoran dengan alasan jabatan, bisa dipidana minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara, ditambah denda hingga Rp1 miliar. Jadi ini bukan lagi sekadar pungli, tapi jelas korupsi,” tegas RS.
Ia menambahkan, praktik setoran wajib ini jelas merugikan anak-anak didik. “Dana revitalisasi itu seharusnya utuh digunakan untuk fasilitas pendidikan, bukan dipotong untuk kepentingan pribadi. Kalau ini dibiarkan, maka yang dikorbankan adalah masa depan anak-anak Garut,” katanya.
Dampak Buruk bagi Dunia Pendidikan
RS menyoroti bahwa isu pungli yang berulang di dunia pendidikan membuat publik semakin kehilangan kepercayaan.
“Setiap kali ada bantuan, selalu muncul isu potongan. Ini wajah buram birokrasi kita. Kalau tidak segera ditindak, publik bisa apatis terhadap program pemerintah,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mendesak aparat penegak hukum, mulai dari Inspektorat, Polres, Kejari, hingga KPK, untuk turun tangan. Audit dana dan investigasi menyeluruh perlu dilakukan agar isu ini tidak berhenti pada gosip belaka.
Harapan Publik
Masyarakat berharap aparat penegak hukum menindaklanjuti dugaan pungli ini secara transparan. Bagi publik, setiap rupiah dana pendidikan adalah amanah yang tak boleh diselewengkan.
“Kalau benar ada pungli, itu pengkhianatan terhadap cita-cita mencerdaskan bangsa. Aparat harus bertindak tegas,” pungkas RS.
Dugaan pungli 15 persen pada bantuan Revitalisasi PAUD di Garut kini menjadi ujian besar. Apakah pemerintah daerah mampu membersihkan dunia pendidikan dari praktik kotor, ataukah kasus ini kembali tenggelam dalam senyap birokrasi, publik menunggu jawabannya. (Tim)